Sabtu, 02 Mei 2015

Perhatikan Modal Utama Kampus!



Perhatikan Modal Utama Kampus!
Oleh : Syaiful Rahman
Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya
 
Saya lupa entah kapan tepatnya, suatu saat saya ditugaskan untuk mewawancarai salah seorang dosen dari fakultas saya. Karena saya dibebaskan memilih dosen yang mana saja, saya memilih Hendry Cahyono, S.E., M.M. Beliau sangat dekat dengan mahasiswa dan beliau juga berdarah Madura, satu tanah air dengan diri saya sendiri.
Wawancara yang kami lakukan adalah seputar pembangunan kampus saya tercinta, Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Saat saya tanya, menurut pandangan beliau, apa modal utama Unesa untuk bisa bersaing di kancah nasional hingga internasional? Dengan tegas beliau menjawab: MAHASISWA.
Beliau menjelaskan bahwa mahasiswa merupakan modal utama terhadap perkembangan kampus ke depan. Tidak hanya itu, mahasiswa juga akan menjadi orang yang ada di garda terdepan untuk memperbaiki bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sebagai lembaga pendidikan, Unesa dituntut untuk mengoptimalkan penggunaan modal tersebut (mahasiswa) sebagai generasi penerus bangsa yang berkualitas.
Tanpa mahasiswa, sebuah kampus bagai presiden tanpa rakyat. Begitu juga, meskipun sebuah kampus memiliki mahasiswa yang banyak namun tidak berkualitas maka sama dengan singa ompong. Dari sana kemudian dapat dipahami betapa pentingnya peran mahasiswa sebagai modal utama sebuah kampus.
Namun demikian, ketika membicarakan mahasiswa sebagai modal maka akan berlaku teori ekonomi. Meskipun tidak selamanya, akan tetapi sudah umum dipahami, kualitas input menentukan kualitas output. Artinya, agar sebuah kampus tersebut berkualitas tentu saja, bukan hanya fokus pada jumlah mahasiswa yang diterima melainkan juga kualitas mahasiswa yang diterima oleh kampus tersebut.
Berbicara tentang input tentu saja tidak bisa lepas dari seleksi masuk. Bagi perguruan tinggi negeri, seleksi masuk, sedikitnya, terdiri dari tiga macam. Yaitu, seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNM PTN), seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBM PTN), dan seleksi mandiri.
Bila ditinjau dari pengalaman yang terjadi, SNM PTN selalu mengalami ironi. Tak sedikit siswa yang memiliki kemampuan tinggi harus menggigit jari karena tidak bisa lolos SNM PTN. Seleksi ini memusatkan pada hasil rapor dan track record prestasi non-akademik, seperti sertifikat-sertifikat lomba dan lain sebagainya. Anehnya, khususnya di sekolah saya dahulu, siswa yang terkenal pandai di sekolah tidak bisa lolos SNM PTN. Sementara siswa yang prestasinya biasa-biasa saja atau bahkan tidak memiliki prestasi mengagumkan dapat lolos dengan mulus.
Terlepas dari spekulasi takdir, dapat diperhatikan bahwa seleksi jalur SNM PTN seringkali meleset dari yang diharapkan. Saya ambil contoh seorang sahabat saya di MAN Sumenep dahulu. Dia bernama Fatimatul Fatmariyah. Mengenai kepandaiannya, khususnya di bidang mata pelajaran akuntansi sudah cukup teruji. Saat mengikuti kompetisi akuntasi di perguruan tinggi negeri di Jember, dia meraih juara I se-Jawa Timur. Dengan sangat bahagia, dia juga mendapat piala bupati.
Melalui prestasi yang membanggakan itu, dia pun bisa optimis untuk lolos SNM PTN di perguruan tinggi negeri di Jember tempat dia mengikuti kompetisi tersebut. Namun, apa yang terjadi? Dia harus menggigit jari karena dia ditolak di perguruan tinggi tersebut. Bahkan, dia melanjutkan ke tes jalur SBM PTN dengan salah satu pilihan perguruan tinggi yang dituju adalah perguruan tinggi di Jember itu. Akan tetapi, lagi-lagi dia tidak lolos.
Alhasil, agar tidak menganggur, dia memilih salah satu perguruan tinggi swasta di Sumenep. Dia kuliah selama satu tahun di perguruan tinggi tersebut. Tahun berikutnya, dia ikut tes lagi dan diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Madura. Saat itu, dia benar-benar mengalami depresi karena merasa kecewa.
Apakah hal yang sama juga berlaku ke tes jalur SBM PTN yang notebene tes tulis? Saya tidak bisa memastikan. Akan tetapi, saat melihat kondisi riil di lapangan maka tidak akan jauh berbeda dengan tes jalur SNM PTN. Keduanya hampir memiliki sifat untung-untungan, kalau tidak mau dikatakan menurut takdirnya. Bahkan hal tersebut terjadi kepada diri saya sendiri. Secara logika, saya tidak pantas lolos di tes SBM PTN, namun faktanya, saya bisa lolos.
Berbeda dengan seleksi mandiri. Seleksi yang dilakukan oleh masing-masing kampus ini mungkin memang lebih tersaring. Setidaknya, hal ini karena selain tes tulis juga diikuti dengan tes wawancara antara pihak kampus dengan calon mahasiswa. Sehingga, pihak kampus dapat melihat calon mahasiswa secara langsung sebelum menerima mahasiswa tersebut.
Meskipun, tak dapat dimungkiri jika seleksi mandiri ini sangat rawan praktik sogok-menyogok. Dan yang lebih mengherankan, saat mahasiswa dari berbagai jalur tersebut diterima, ternyata mahasiswa tersebut tidak jauh berbeda, atau bahkan tidak berbeda sama sekali. Artinya, ketiga jalur seleksi tersebut tidak memberikan cermin tingkat kualitas mahasiswa yang diterima sama sekali.
Jangan dianggap mahasiswa yang diterima lewat seleksi mandiri lebih rendah kualitasnya dari mahasiswa yang diterima lewat seleksi SNM PTN atau SBM PTN. Sebab seperti diurai di atas, pelaksanaan SNM PTN dan SBM PTN sama-sama sering mengalami salah sasaran. Akibatnya, tiga macam jalur seleksi tersebut tidak memberikan jaminan yang kuat dan jelas terhadap kualitas mahasiswa.
Lantas, bila mahasiswa yang merupakan input tersebut sudah tidak memiliki jaminan kualitas yang tinggi, bagaimana sebuah kampus dapat mengharapkan output yang berkualitas? Tentu saya tidak bisa memberikan pandangan yang psimis. Namun, tetap perlu disadari bahwa dengan melihat kondisi yang demikian maka tugas kampus menjadi sangat berat. Kampus sebagai tempat berproses harus benar-benar memberikan dukungan penuh kepada mahasiswanya. Harapannya, meskipun input­­-nya tak begitu bagus, melalui proses yang bagus, maka output-nya bisa bagus. Bagaimana dengan kampus kita? Salam.

Surabaya, 30 Maret 2015

0 komentar:

Posting Komentar