Perhatikan Modal Utama Kampus!
Oleh : Syaiful Rahman
Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya
Saya
lupa entah kapan tepatnya, suatu saat saya ditugaskan untuk mewawancarai salah
seorang dosen dari fakultas saya. Karena saya dibebaskan memilih dosen yang
mana saja, saya memilih Hendry Cahyono, S.E., M.M. Beliau sangat dekat dengan
mahasiswa dan beliau juga berdarah Madura, satu tanah air dengan diri saya
sendiri.
Wawancara
yang kami lakukan adalah seputar pembangunan kampus saya tercinta, Universitas
Negeri Surabaya (Unesa). Saat saya tanya, menurut pandangan beliau, apa modal
utama Unesa untuk bisa bersaing di kancah nasional hingga internasional? Dengan
tegas beliau menjawab: MAHASISWA.
Beliau
menjelaskan bahwa mahasiswa merupakan modal utama terhadap perkembangan kampus
ke depan. Tidak hanya itu, mahasiswa juga akan menjadi orang yang ada di garda
terdepan untuk memperbaiki bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sebagai lembaga
pendidikan, Unesa dituntut untuk mengoptimalkan penggunaan modal tersebut
(mahasiswa) sebagai generasi penerus bangsa yang berkualitas.
Tanpa
mahasiswa, sebuah kampus bagai presiden tanpa rakyat. Begitu juga, meskipun
sebuah kampus memiliki mahasiswa yang banyak namun tidak berkualitas maka sama
dengan singa ompong. Dari sana kemudian dapat dipahami betapa pentingnya peran
mahasiswa sebagai modal utama sebuah kampus.
Namun
demikian, ketika membicarakan mahasiswa sebagai modal maka akan berlaku teori
ekonomi. Meskipun tidak selamanya, akan tetapi sudah umum dipahami, kualitas input menentukan kualitas output. Artinya, agar sebuah kampus
tersebut berkualitas tentu saja, bukan hanya fokus pada jumlah mahasiswa yang
diterima melainkan juga kualitas mahasiswa yang diterima oleh kampus tersebut.
Berbicara
tentang input tentu saja tidak bisa
lepas dari seleksi masuk. Bagi perguruan tinggi negeri, seleksi masuk,
sedikitnya, terdiri dari tiga macam. Yaitu, seleksi nasional masuk perguruan
tinggi negeri (SNM PTN), seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBM
PTN), dan seleksi mandiri.
Bila
ditinjau dari pengalaman yang terjadi, SNM PTN selalu mengalami ironi. Tak
sedikit siswa yang memiliki kemampuan tinggi harus menggigit jari karena tidak
bisa lolos SNM PTN. Seleksi ini memusatkan pada hasil rapor dan track record prestasi non-akademik,
seperti sertifikat-sertifikat lomba dan lain sebagainya. Anehnya, khususnya di
sekolah saya dahulu, siswa yang terkenal pandai di sekolah tidak bisa lolos SNM
PTN. Sementara siswa yang prestasinya biasa-biasa saja atau bahkan tidak
memiliki prestasi mengagumkan dapat lolos dengan mulus.
Terlepas
dari spekulasi takdir, dapat diperhatikan bahwa seleksi jalur SNM PTN
seringkali meleset dari yang diharapkan. Saya ambil contoh seorang sahabat saya
di MAN Sumenep dahulu. Dia bernama Fatimatul Fatmariyah. Mengenai
kepandaiannya, khususnya di bidang mata pelajaran akuntansi sudah cukup teruji.
Saat mengikuti kompetisi akuntasi di perguruan tinggi negeri di Jember, dia
meraih juara I se-Jawa Timur. Dengan sangat bahagia, dia juga mendapat piala
bupati.
Melalui
prestasi yang membanggakan itu, dia pun bisa optimis untuk lolos SNM PTN di
perguruan tinggi negeri di Jember tempat dia mengikuti kompetisi tersebut.
Namun, apa yang terjadi? Dia harus menggigit jari karena dia ditolak di
perguruan tinggi tersebut. Bahkan, dia melanjutkan ke tes jalur SBM PTN dengan
salah satu pilihan perguruan tinggi yang dituju adalah perguruan tinggi di
Jember itu. Akan tetapi, lagi-lagi dia tidak lolos.
Alhasil,
agar tidak menganggur, dia memilih salah satu perguruan tinggi swasta di
Sumenep. Dia kuliah selama satu tahun di perguruan tinggi tersebut. Tahun
berikutnya, dia ikut tes lagi dan diterima di salah satu perguruan tinggi
negeri di Madura. Saat itu, dia benar-benar mengalami depresi karena merasa
kecewa.
Apakah
hal yang sama juga berlaku ke tes jalur SBM PTN yang notebene tes tulis? Saya
tidak bisa memastikan. Akan tetapi, saat melihat kondisi riil di lapangan maka
tidak akan jauh berbeda dengan tes jalur SNM PTN. Keduanya hampir memiliki
sifat untung-untungan, kalau tidak mau dikatakan menurut takdirnya. Bahkan hal
tersebut terjadi kepada diri saya sendiri. Secara logika, saya tidak pantas
lolos di tes SBM PTN, namun faktanya, saya bisa lolos.
Berbeda
dengan seleksi mandiri. Seleksi yang dilakukan oleh masing-masing kampus ini
mungkin memang lebih tersaring. Setidaknya, hal ini karena selain tes tulis
juga diikuti dengan tes wawancara antara pihak kampus dengan calon mahasiswa.
Sehingga, pihak kampus dapat melihat calon mahasiswa secara langsung sebelum
menerima mahasiswa tersebut.
Meskipun,
tak dapat dimungkiri jika seleksi mandiri ini sangat rawan praktik
sogok-menyogok. Dan yang lebih mengherankan, saat mahasiswa dari berbagai jalur
tersebut diterima, ternyata mahasiswa tersebut tidak jauh berbeda, atau bahkan
tidak berbeda sama sekali. Artinya, ketiga jalur seleksi tersebut tidak
memberikan cermin tingkat kualitas mahasiswa yang diterima sama sekali.
Jangan
dianggap mahasiswa yang diterima lewat seleksi mandiri lebih rendah kualitasnya
dari mahasiswa yang diterima lewat seleksi SNM PTN atau SBM PTN. Sebab seperti
diurai di atas, pelaksanaan SNM PTN dan SBM PTN sama-sama sering mengalami
salah sasaran. Akibatnya, tiga macam jalur seleksi tersebut tidak memberikan
jaminan yang kuat dan jelas terhadap kualitas mahasiswa.
Lantas,
bila mahasiswa yang merupakan input tersebut
sudah tidak memiliki jaminan kualitas yang tinggi, bagaimana sebuah kampus
dapat mengharapkan output yang
berkualitas? Tentu saya tidak bisa memberikan pandangan yang psimis. Namun,
tetap perlu disadari bahwa dengan melihat kondisi yang demikian maka tugas
kampus menjadi sangat berat. Kampus sebagai tempat berproses harus benar-benar
memberikan dukungan penuh kepada mahasiswanya. Harapannya, meskipun input-nya tak begitu bagus, melalui
proses yang bagus, maka output-nya
bisa bagus. Bagaimana dengan kampus kita? Salam.
Surabaya,
30 Maret 2015
0 komentar:
Posting Komentar