Sabtu, 02 Mei 2015

Penelitiasn vs Kemajuan Bangsa



Penelitian vs Kemajuan Bangsa
Oleh : Syaiful Rahman 
Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas EKonomi Universitas Negeri Surabaya

Telah dipahami bahwa pembangunan Indonesia tidak lain karena ada dukungan dari penelitian. Para akademisi didorong untuk melakukan berbagai penelitian untuk mengidentifikasi permasalahan dan menemukan solusinya. Di antara bentuk dorong itu adalah dana penelitian yang cukup besar dan kenaikan pangkat.
Keduanya memberikan efek stimulus yang cukup besar bagi akademisi. Jurnal-jurnal mulai diberondong hasil penelitian oleh mereka. Alhasil, semakin banyak pula publikasi-publikasi ilmiah dan semakin banyak pula para akademisi mendapat kenaikan pangkat.
Namun, menjadi sesuatu yang ironis bila peningkatan jumlah penelitian tidak diikuti peningkatan kemajuan bangsa. Padahal, bagaimanapun tujuan awal dari dorongan penelitian adalah sumbangsih pemikiran untuk kemajuan bangsa. Bahkan, sejumlah perguruan tinggi tidak menaruh kepercayaan kepada para akademisi dalam negeri dengan hanya menggunakan buku-buku dari luar negeri. Alasannya sangat sederhana, sebab tidak ada orang Indonesia yang meneliti permasalahan bangsa Indonesia dengan lebih mendalam.
Lantas dari manakah permasalahan-permasalahan demikian berasal? Benarkah akademisi Indonesia tidak mampu melakukan penelitian dengan lebih serius demi kemajuan bangsa? Marilah kita evaluasi beberapa hal penting yang menyangkut penelitian serta dana penelitian yang dikeluarkan pemerintah.
Stimulus Penelitian
Selama ini dua stimulus penelitian, dana penelitian yang cukup besar dan kenaikan pangkat, ternyata hanya dijadikan lahan kerja sampingan. Faktanya, sulit menemukan hasil penelitian yang benar-benar mengubah kondisi bangsa ini. Para dosen melakukan penelitian dengan orientasi utama mendapatkan dana yang jumlahnya puluhan juta.
Para dosen semangat melakukan penelitian karena dana yang diberikan pemerintah jauh lebih besar dari gajinya. Namun, sungguh tidak etis ketika hasil penelitian tersebut  tidak memberikan perubahan yang optimal. Bahkan, tak jarang ditemukan juga dosen memanfaatkan mahasiswanya untuk membantu penelitiannya. Mahasiswa diberi tugas menyebarkan angket yang sebenarnya tidak berkaitan sama sekali dengan mata kuliah. Iming-imingnya, mahasiswa yang mendapat data paling banyak dan bagus akan mendapat nilai yang tinggi.
Begitupun dalam kenaikan pangkat, stimulus itu hanya dijadikan media yang akan segera dilupakan setelah pangkat yang diinginkan sudah diraih. Kacang lupa kulitnya barangkali pepatah yang tepat untuk menggambarkan ini. Artinya, penelitian tersebut tidak ditindaklanjuti sehingga hasil temuan dan pemikirannya tidak berhenti di atas kertas saja. Melainkan ada aplikasi nyata di tengah-tengah masyarakat.
Tolok Ukur Keberhasilan
Mengenai tolok ukur keberhasilan sebuah penelitian ini memang menjadi hal yang sangat penting. Pasalnya, lembaga-lembaga penelitian bukan didorong untuk melakukan penelitian yang benar-benar berdampak besar terhadap perubahan bangsa melainkan lebih pada dorongan untuk menghabiskan dana.
Setiap lembaga penelitian yang sudah mendapat stok dana tertentu jika tidak dihabiskan maka harus dikembalikan kepada pemerintah dan di tahun berikutnya ada kemungkinan besar tidak mendapat dana lagi. Akibatnya, lembaga-lembaga penelitian menarik orang-orang akademisi untuk melakukan penelitian meskipun hasilnya tidak maksimal. Prinsipnya, yang penting dana yang telah dianggarkan terserap semua.
Keterserapan dana yang telah dianggarkan tersebut ternyata dijadikan tolok ukur keberhasilan sebuah lembaga. Perlakuan seperti ini tentu sangat tidak realistis bila melihat kenyataan yang ada di lapangan. Penelitian yang tidak serius dengan tujuan hanya agar dana terserap menjadi sesuatu yang jelas merugikan negara.
Selain itu, prinsip ‘yang penting mengadakan penelitian, salah benar itu tidak masalah’ juga menjadi satu hal yang perlu diperhatikan. Prinsip ini sebenarnya merupakan akibat dari faktor tolok ukur keterserapan dana di atas. Penelitian yang tidak begitu mengikat pertanggungjawaban melahirkan mindset ‘asal jadi’.
Persoalan-persoalan di atas barangkali sudah disadari oleh para pemangku kebijakan, namun belum mendapat tindak lanjut yang serius. Akibatnya, jumlah sarjana yang semakin membeludak, jumlah megister, doktor, profesor yang terus meningkat tidak memberikan efek yang besar terhadap perubahan bangsa.
Bahkan, lahir banyak ketidakpercayaan akademisi dalam negeri terhadap para penelitinya sendiri. Buku ajar, buku referensi, dan pemikiran lebih mengarah ke hasil pemikiran luar negeri. Tindakan mengadopsi pemikiran akademisi luar negeri memang tidak sepenuhnya salah. Selama berada dalam koridor kebaikan bangsa Indonesia maka hal itu dapat ditoleransi.
Akan tetapi, hal itu semestinya dijadikan pukulan bagi para akademisi dalam negeri. Setidaknya, kondisi yang demikian menunjukkan bahwa para akademisi Indonesia belum mampu menghegemoni bangsa sendiri. Justru, bangsa Indonesia mendapat hegemoni yang kuat dari bangsa luar. Hal ini juga yang telah menyebabkan tercerabutnya kemurnian lokalitas bangsa Indonesia.
Di samping itu, kondisi demikian juga menegaskan kepada bangsa Indonesia bahwa hasil pemikiran para akademisi Indonesia tidak laku bagi bangsanya sendiri. Mosi kurang percaya terhadap akademisi bangsa sendiri sebenarnya akan menjadi api kecil yang akan segera menghanguskan negara ini. Lambat laun, disadari maupun tidak, bangsa ini akan terus merasa lebih bangga jika berkiblat kepada luar negeri dan sedikit demi sedikit melupakan landasannya sendiri. Wallahu a’lam.

Surabaya, 25 April 2015

0 komentar:

Posting Komentar