Penelitian vs Kemajuan Bangsa
Oleh : Syaiful Rahman
Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas EKonomi Universitas Negeri Surabaya
Telah
dipahami bahwa pembangunan Indonesia tidak lain karena ada dukungan dari
penelitian. Para akademisi didorong untuk melakukan berbagai penelitian untuk
mengidentifikasi permasalahan dan menemukan solusinya. Di antara bentuk dorong
itu adalah dana penelitian yang cukup besar dan kenaikan pangkat.
Keduanya
memberikan efek stimulus yang cukup besar bagi akademisi. Jurnal-jurnal mulai
diberondong hasil penelitian oleh mereka. Alhasil, semakin banyak pula
publikasi-publikasi ilmiah dan semakin banyak pula para akademisi mendapat
kenaikan pangkat.
Namun,
menjadi sesuatu yang ironis bila peningkatan jumlah penelitian tidak diikuti
peningkatan kemajuan bangsa. Padahal, bagaimanapun tujuan awal dari dorongan
penelitian adalah sumbangsih pemikiran untuk kemajuan bangsa. Bahkan, sejumlah
perguruan tinggi tidak menaruh kepercayaan kepada para akademisi dalam negeri
dengan hanya menggunakan buku-buku dari luar negeri. Alasannya sangat
sederhana, sebab tidak ada orang Indonesia yang meneliti permasalahan bangsa
Indonesia dengan lebih mendalam.
Lantas
dari manakah permasalahan-permasalahan demikian berasal? Benarkah akademisi
Indonesia tidak mampu melakukan penelitian dengan lebih serius demi kemajuan
bangsa? Marilah kita evaluasi beberapa hal penting yang menyangkut penelitian
serta dana penelitian yang dikeluarkan pemerintah.
Stimulus Penelitian
Selama
ini dua stimulus penelitian, dana penelitian yang cukup besar dan kenaikan
pangkat, ternyata hanya dijadikan lahan kerja sampingan. Faktanya, sulit
menemukan hasil penelitian yang benar-benar mengubah kondisi bangsa ini. Para
dosen melakukan penelitian dengan orientasi utama mendapatkan dana yang
jumlahnya puluhan juta.
Para
dosen semangat melakukan penelitian karena dana yang diberikan pemerintah jauh
lebih besar dari gajinya. Namun, sungguh tidak etis ketika hasil penelitian
tersebut tidak memberikan perubahan yang
optimal. Bahkan, tak jarang ditemukan juga dosen memanfaatkan mahasiswanya
untuk membantu penelitiannya. Mahasiswa diberi tugas menyebarkan angket yang
sebenarnya tidak berkaitan sama sekali dengan mata kuliah. Iming-imingnya,
mahasiswa yang mendapat data paling banyak dan bagus akan mendapat nilai yang
tinggi.
Begitupun
dalam kenaikan pangkat, stimulus itu hanya dijadikan media yang akan segera
dilupakan setelah pangkat yang diinginkan sudah diraih. Kacang lupa kulitnya barangkali
pepatah yang tepat untuk menggambarkan ini. Artinya, penelitian tersebut tidak
ditindaklanjuti sehingga hasil temuan dan pemikirannya tidak berhenti di atas
kertas saja. Melainkan ada aplikasi nyata di tengah-tengah masyarakat.
Tolok Ukur Keberhasilan
Mengenai
tolok ukur keberhasilan sebuah penelitian ini memang menjadi hal yang sangat
penting. Pasalnya, lembaga-lembaga penelitian bukan didorong untuk melakukan
penelitian yang benar-benar berdampak besar terhadap perubahan bangsa melainkan
lebih pada dorongan untuk menghabiskan dana.
Setiap
lembaga penelitian yang sudah mendapat stok dana tertentu jika tidak dihabiskan
maka harus dikembalikan kepada pemerintah dan di tahun berikutnya ada
kemungkinan besar tidak mendapat dana lagi. Akibatnya, lembaga-lembaga
penelitian menarik orang-orang akademisi untuk melakukan penelitian meskipun
hasilnya tidak maksimal. Prinsipnya, yang penting dana yang telah dianggarkan
terserap semua.
Keterserapan
dana yang telah dianggarkan tersebut ternyata dijadikan tolok ukur keberhasilan
sebuah lembaga. Perlakuan seperti ini tentu sangat tidak realistis bila melihat
kenyataan yang ada di lapangan. Penelitian yang tidak serius dengan tujuan
hanya agar dana terserap menjadi sesuatu yang jelas merugikan negara.
Selain
itu, prinsip ‘yang penting mengadakan penelitian, salah benar itu tidak
masalah’ juga menjadi satu hal yang perlu diperhatikan. Prinsip ini sebenarnya
merupakan akibat dari faktor tolok ukur keterserapan dana di atas. Penelitian
yang tidak begitu mengikat pertanggungjawaban melahirkan mindset ‘asal jadi’.
Persoalan-persoalan
di atas barangkali sudah disadari oleh para pemangku kebijakan, namun belum
mendapat tindak lanjut yang serius. Akibatnya, jumlah sarjana yang semakin
membeludak, jumlah megister, doktor, profesor yang terus meningkat tidak
memberikan efek yang besar terhadap perubahan bangsa.
Bahkan,
lahir banyak ketidakpercayaan akademisi dalam negeri terhadap para penelitinya
sendiri. Buku ajar, buku referensi, dan pemikiran lebih mengarah ke hasil pemikiran
luar negeri. Tindakan mengadopsi pemikiran akademisi luar negeri memang tidak
sepenuhnya salah. Selama berada dalam koridor kebaikan bangsa Indonesia maka
hal itu dapat ditoleransi.
Akan
tetapi, hal itu semestinya dijadikan pukulan bagi para akademisi dalam negeri.
Setidaknya, kondisi yang demikian menunjukkan bahwa para akademisi Indonesia
belum mampu menghegemoni bangsa sendiri. Justru, bangsa Indonesia mendapat
hegemoni yang kuat dari bangsa luar. Hal ini juga yang telah menyebabkan
tercerabutnya kemurnian lokalitas bangsa Indonesia.
Di
samping itu, kondisi demikian juga menegaskan kepada bangsa Indonesia bahwa
hasil pemikiran para akademisi Indonesia tidak laku bagi bangsanya sendiri.
Mosi kurang percaya terhadap akademisi bangsa sendiri sebenarnya akan menjadi
api kecil yang akan segera menghanguskan negara ini. Lambat laun, disadari maupun
tidak, bangsa ini akan terus merasa lebih bangga jika berkiblat kepada luar
negeri dan sedikit demi sedikit melupakan landasannya sendiri. Wallahu a’lam.
Surabaya,
25 April 2015
0 komentar:
Posting Komentar