Pendidikan Indonesia: Refleksi Puisi WS. Rendra
Oleh : Syaiful Rahman
Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya
Jumlah
sarjana setiap tahun selalu mengalami peningkatan. Hal ini menjadi kabar baik
bagi bangsa Indonesia. Sebab, itu berarti angka buta huruf dan buta pendidikan
terus mengalami penurunan. Demikian juga dengan tingkat pengangguran, dengan
meningkatnya jumlah masyarakat yang memiliki pendidikan, seharusnya dapat
menekan pengangguran.
Namun,
kenyataan berbicara lain. Bila dilihat data dari Badan Pusat Statistik pada Agustus 2014, penduduk yang bekerja
masih didominasi oleh penduduk yang berpendidikan SD ke bawah, yakni sebesar
47,07 persen. Sementara penduduk yang berpendidikan sarjana ke atas hanya
sebesar 7,21 persen. Sehingga tak heran bila data pengangguran dalam bulan yang
sama, Agustus 2014, masih cukup tragis, yakni 7,24 juta orang.
Senin,
30 Maret 2015 lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dalam Rembuk Nasional
Pendidikan dan Kebudayaan Nasional 2015 di Balai Diklat Dikbud Depok, Jawa
Barat, mengungkapkan akan pentingnya menambah jumlah sekolah menengah kejuruan
(SMK). Tak lain dan tak bukan, tujuan dari penambahan SMK tersebut dimaksudkan
untuk menekan jumlah penggangguran.
Benarkah
penambahan jumlah SMK akan dapat menekan pengangguran? Pertanyaan ini belum
dapat dijawab sebelum ada bukti nyata di lapangan. Sebab, dapat dipahami
bersama bahwa ada sisi lain yang juga memengaruhi arah pengangguran. Pendidikan
yang tinggi tidak selamanya melahirkan jumlah lapangan pekerjaan yang tinggi
pula. Buktinya dari data BPS di atas ditunjukkan bahwa penduduk yang
berpendidikan sarjana hanya 7,21 yang bekerja.
Senada
dengan kondisi di atas, tampaknya puisi berjudul Sajak Seonggok Jagung karya almarhum WS. Rendra di bawah ini perlu
direnungi.
Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang
menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang menjadi
layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi,
ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu
berkata:
“Di sini aku merasa asing dan sepi!”
Puisi
di atas sebenarnya cukup jelas memberi penegasan terhadap dunia pendidikan
Indonesia saat ini. Pendidikan yang jauh dari kenyataan hanya menjadikan generasi
penerus bangsa ini terkungkung dalam teori. Tersandera dalam lipatan-lipatan
buku. Pendidikan yang tidak friendly terhadap
anak didik menjadikan mereka terasing dari lingkungan.
Dari
puisi di atas kita juga dapat menangkap pesan terhadap bentuk pendidikan
Indonesia yang (mungkin) lebih ideal. Pendidikan yang lebih mendekatkan peserta
didik kepada dunia nyata daripada terpaku pada teori semata.
Untuk
itu, penambahan jumlah SMK sebagaimana yang dimaksud JK mungkin cara yang cukup
logis. Sebab, SMK merupakan sekolah yang lebih menitikberatkan pada praktik
daripada teori. Akan tetapi, tak seharusnya kita mengambil cara yang demikian.
Tentunya akan ada banyak hal yang juga harus dipertimbangkan lebih mendalam.
Beberapa
hal yang harus dipertimbangkan antara lain adalah jumlah dana yang harus
dikeluarkan oleh pemerintah. Untuk mendirikan sekolah SMK tentunya tidak
sedikit dana yang harus dikeluarkan. Baik persiapan administrasi maupun sarana
prasarana tentu akan jauh lebih besar daripada mendirikan sekolah biasa.
Selanjutnya,
pemerintah juga harus mempertimbangkan jumlah dan kualitas tenaga kependidikan
yang akan digunakan. Ini juga bukan merupakan hal mudah dalam dunia pendidikan.
Kebutuhan akan tenaga pendidik untuk mengisi SMK baru nanti pun akan berdampak
terhadap pengeluaran yang cukup besar.
Oleh
karena itu, menurut hemat penulis, sebaiknya pemerintah tidak perlu melakukan
penambahan terhadap jumlah SMK. Alangkah lebih baik bila pemerintah fokus
memperbaiki lembaga pendidikan yang sudah ada. Bagaimanapun, persoalan
pendidikan selama ini sebenarnya bukan terletak dari jumlah lembaganya
melainkan sistem, metode, dan kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah.
Berbagai
konsep pendidikan yang hanya terpaku pada tingkat hafalan dan kemampuan
menjawab soal-soal tertulis perlu diperbaiki. Perlu ada upaya pembelajaran yang
mengarah pada tingkat pengaplikasian teori dan kemampuan menjawab
persoalan-persoalan dalam dunia nyata. Mengubah konsep ini memang tidaklah
mudah namun, akan lebih bijak daripada menambah jumlah lembaga pendidikan namun
membiarkan lembaga-lembaga yang sudah ada tetap dalam lingkaran masalah.
Sebagaimana
data dari Kemdikbud.go.id yang
dikutip oleh Habe Arifin (Duta Masyarakat,
26 April 2015), dari pemetaan terhadap 40.000 sekolah pada tahun 2012, sebanyak
75 persen sekolah tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Kabar ini
tentu sangat mengagetkan dunia pendidikan Indonesia.
Data
di atas menambah kekuatan argumen bahwa alangkah lebih baik bila pemerintah
mengutamakan perbaikan lembaga pendidikan yang belum mencapai standar tersebut.
Sebab, lembaga-lembaga pendidikan yang tidak terstandar dengan baik ini hanya
akan menambah jumlah masyarakat mengantongi ijazah namun tidak memberikan efek
terhadap perbaikan bangsa.
Saatnya
merenungi kembali sajak WS. Rendra sebelum baris di atas:
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari
buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari
kehidupan.
Surabaya, 26 April 2015
0 komentar:
Posting Komentar