Bisnis Pendidikan Merusak Bangsa
Oleh Syaiful Rahman
Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri SUrabaya
Pendidikan
sebagai pondasi pembangunan bangsa semakin sulit direalisasikan. Berbagai upaya
yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan
seringkali hanya berbuah gigitan jari semata. Fakta demikian sulit dibantah
ketika melihat kondisi riil di lapangan. Konsep dan sistem yang dibangun bagai
rumah megah yang hanya dihuni oleh orang-orang gila yang tak peduli pada rumah
tersebut.
Sejak dulu
pemerintah menaikkan gaji guru demi menyejahterakan guru, memberikan
sertifikasi bagi guru-guru tertentu, memberikan bantuan bagi lembaga-lembaga
pendidikan seperti dana beasiswa, dan lain sebagainya. Semua upaya yang memang
patut diacungi jempol sebagai tanda kepedulian pemerintah terhadap peningkatan mutu
pendidikan.
Akan tetapi,
realisasinya seringkali memberikan hasil negatif. Berbagai upaya pemerintah
yang berupa bantuan dana hanya dijadikan lahan bisnis dalam dunia pendidikan.
Hal itu terbukti dengan meningkatnya penawaran guru sebab memandang gaji yang
tinggi. Banyak sekolah menerima peserta didik dengan kuota yang relatif besar
agar jumlah bantuan yang diberikan kepada lembaganya semakin besar. Banyak guru
yang berlomba-lomba untuk mendapatkan sertifikasi.
Ironisnya, upaya
pemerintah dan antusiasme masyarakat tersebut tidak diikuti oleh meningkatnya
kualitas pendidikan. Bisnis pendidikan barangkali padanan yang tepat untuk
mengungkapkan fakta tersebut. Meskipun tidak semuanya, antusiasme masyarakat
untuk menjadi guru, tidak berniat untuk memperbaiki generasi bangsa melainkan
untuk mendapatkan gaji yang tinggi.
Akibatnya,
guru-guru yang direkrut sulit memberikan perhatian serius terhadap perkembangan
anak didiknya. Fakta-fakta demikian sangat tampak di lembaga-lembaga pendidikan
yang berdiri di pedesaan khususnya. Dengan berbagai tekanan ekonomi dan budaya
yang kurang mendukung kepada perkembangan pendidikan menambah kekeruhan dunia
pendidikan. Lembaga pendidikan hanya dijadikan lahan penghasilan semata, bukan
lagi sebagai wadah untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa.
Bahkan,
belakangan ini muncul fenomena bahwa para guru (dengan terpaksa) melanjutkan
jenjang pendidikannya. Alasannya sangat sederhana, agar sertifikasi yang telah
didapatkan tidak dicabut oleh pemerintah. Artinya, orientasi melanjutkan
jenjang pendidikan bukanlah untuk meningkatkan kompetensi dirinya agar bisa
menjadi guru yang profesional. Melainkan untuk mempertahankan pendapatan atau
untuk menaikkan jabatannya agar nanti gajinya pun ikut naik.
Begitupun dalam
hal perekrutan peserta didik baru. Sulit rasanya menemukan lembaga pendidikan
yang memperhitungkan berapa jumlah tenaga pendidik yang tersedia, bagaimana
sarana-prasarana lembaga, dan bagaimana kompetensi tenaga pendidik yang
tersedia sebagai pertimbangan untuk menerima peserta didik. Kalaupun ada, hanya
sebatas memperhitungkan daya tampung ruang kelas yang dimiliki.
Alhasil, saat
penerimaan peserta didik baru, lembaga pendidikan menerima peserta didik
sebanyak-banyaknya sesuai jumlah kelas yang dimiliki. Hampir setiap tahun
selalu dilaksanakan pembangunan gedung untuk menampung pertambahan jumlah
peserta didik yang terus membeludak.
Namun, karena
tidak dipertimbangkan jumlah tenaga pendidik yang tersedia dan tingkat
kompetensi tenaga pendidik, akibatnya kualitas peserta didik bukan semakin
meningkat melainkan semakin menurun. Kenapa? Karena hal demikian memaksa
lembaga pendidikan harus bersiasat “yang penting tiap kelas ada gurunya”.
Dengan terpaksa pula, guru yang bukan bidangnya harus mengajar materi tertentu.
Ini jelas akan
merugikan peserta didik. Pengetahuan yang diterima bukan dari ahlinya tentu
akan menimbulkan banyak kemungkinan negatif. Sedikitnya, guru yang terpaksa
tersebut tidak akan dapat mentransformasikan ilmu pengetahuan yang seharusnya
kepada peserta didik. Atau yang lebih mengerikan bila guru hanya bermodal tiga
kata saat masuk kelas: buka halaman, kerjakan, dan kumpulkan.
Dari berbagai
permasalahan di atas yang berorientasi pada bisnis pendidikan memang perlu
mendapat perhatian lebih dari setiap lapisan. Gerakan peningkatan pendidikan
yang tidak seirama tersebut mangakibatkan munculnya kesenjangan pendidikan yang
semakin dalam. Banyak lembaga pendidikan yang masih mampu berdiri bukan karena
tingkat kualitas lembaganya melainkan karena jumlah peserta didiknya.
Yang demikian
dapat dianalogikan sebagai sebuah rumah yang hanya bagus di bagian luarnya.
Sementara di dalamnya berkumpul banyak kerusakan yang akan segera merobohkan
rumah tersebut. Bahkan sesuatu yang keluar dari rumah tersebut tidak bisa
diharapkan menjadi hal yang bermanfaat bagi sekitarnya.
Permasalahan
pendidikan yang seperti ini memang sulit untuk dinyatakan dengan angka. Sebab,
tak dapat dimungkiri bila lembaga pendidikan harus melaporkan kepada pemerintah
bahwa lembaganya baik-baik saja atau bahkan sedang mengalami perkembangan demi
mempertahankan lembaga tersebut. Cara paling mudah untuk melihat fakta ini
adalah dengan memasuki lembaga tersebut dan memperhatikan bagaimana tindak
tanduknya.
Cara lain adalah
dengan melihat daya saing peserta didiknya. Bagaimanapun, peserta didik
merupakan produk dari hasil proses pendidikan sebuah lembaga dan lingkungan
pendidikan. Jika produk tersebut tidak menunjukkan kualitas yang mumpuni bisa
diperhatikan bagaimana prosesnya yang telah berlangsung sebelumnya.
Jika menggunakan
cara yang kedua ini, maka secara makro dapat dilihat bagaimana peringkat
pendidikan Indonesia di dunia. Jika peringkat pendidikan Indonesia di dunia
menunjukkan penurunan maka kemungkinan besar, pendidikan Indonesia memang
sedang mengalami permasalahan mendasar dalam pelaksanaan prosesnya.
Memang kondisi
pendidikan demikian sulit ditemukan solusinya. Berbagai kebijakan terkait
pendidikan seringkali bermata dua. Misalnya, pemerintah membuat kebijakan
dengan maksud baik demi peningkatan kualitas pendidikan, namun dalam
realisasinya justru dipermainkan oleh oknum-oknum berkepentingan. Pemerintah
memberikan kenaikan gaji bagi guru dengan tujuan agar guru dapat mengajar
sebaik-baiknya. Akan tetapi, yang muncul menjadi mind set dalam diri guru adalah kenaikan gajinya semata. Kualitas
mengajarnya tidak mengalami peningkatan tapi orientasi mengajar malah berputar
sembilan puluh derajat, bukan lagi demi peningkatan pendidikan melainkan demi
gaji.
Alhasil,
dapatlah semua pihak mengoreksi lembaga pendidikan yang berkembang di daerahnya
masing-masing. Dapatlah melihat peningkatan kualitas pendidikan yang ada di
lembaga-lembaga terdekat dengan melihat produk yang telah dihasilkan. Sehingga
jelaslah bahwa upaya peningkatan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah berbuah
gigitan jari semata. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar