Sabtu, 02 Mei 2015

Bisnis Pendidikan Merusak Bangsa



Bisnis Pendidikan Merusak Bangsa
Oleh Syaiful Rahman
Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri SUrabaya

Pendidikan sebagai pondasi pembangunan bangsa semakin sulit direalisasikan. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan seringkali hanya berbuah gigitan jari semata. Fakta demikian sulit dibantah ketika melihat kondisi riil di lapangan. Konsep dan sistem yang dibangun bagai rumah megah yang hanya dihuni oleh orang-orang gila yang tak peduli pada rumah tersebut.
Sejak dulu pemerintah menaikkan gaji guru demi menyejahterakan guru, memberikan sertifikasi bagi guru-guru tertentu, memberikan bantuan bagi lembaga-lembaga pendidikan seperti dana beasiswa, dan lain sebagainya. Semua upaya yang memang patut diacungi jempol sebagai tanda kepedulian pemerintah terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Akan tetapi, realisasinya seringkali memberikan hasil negatif. Berbagai upaya pemerintah yang berupa bantuan dana hanya dijadikan lahan bisnis dalam dunia pendidikan. Hal itu terbukti dengan meningkatnya penawaran guru sebab memandang gaji yang tinggi. Banyak sekolah menerima peserta didik dengan kuota yang relatif besar agar jumlah bantuan yang diberikan kepada lembaganya semakin besar. Banyak guru yang berlomba-lomba untuk mendapatkan sertifikasi.
Ironisnya, upaya pemerintah dan antusiasme masyarakat tersebut tidak diikuti oleh meningkatnya kualitas pendidikan. Bisnis pendidikan barangkali padanan yang tepat untuk mengungkapkan fakta tersebut. Meskipun tidak semuanya, antusiasme masyarakat untuk menjadi guru, tidak berniat untuk memperbaiki generasi bangsa melainkan untuk mendapatkan gaji yang tinggi.
Akibatnya, guru-guru yang direkrut sulit memberikan perhatian serius terhadap perkembangan anak didiknya. Fakta-fakta demikian sangat tampak di lembaga-lembaga pendidikan yang berdiri di pedesaan khususnya. Dengan berbagai tekanan ekonomi dan budaya yang kurang mendukung kepada perkembangan pendidikan menambah kekeruhan dunia pendidikan. Lembaga pendidikan hanya dijadikan lahan penghasilan semata, bukan lagi sebagai wadah untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa.
Bahkan, belakangan ini muncul fenomena bahwa para guru (dengan terpaksa) melanjutkan jenjang pendidikannya. Alasannya sangat sederhana, agar sertifikasi yang telah didapatkan tidak dicabut oleh pemerintah. Artinya, orientasi melanjutkan jenjang pendidikan bukanlah untuk meningkatkan kompetensi dirinya agar bisa menjadi guru yang profesional. Melainkan untuk mempertahankan pendapatan atau untuk menaikkan jabatannya agar nanti gajinya pun ikut naik.
Begitupun dalam hal perekrutan peserta didik baru. Sulit rasanya menemukan lembaga pendidikan yang memperhitungkan berapa jumlah tenaga pendidik yang tersedia, bagaimana sarana-prasarana lembaga, dan bagaimana kompetensi tenaga pendidik yang tersedia sebagai pertimbangan untuk menerima peserta didik. Kalaupun ada, hanya sebatas memperhitungkan daya tampung ruang kelas yang dimiliki.
Alhasil, saat penerimaan peserta didik baru, lembaga pendidikan menerima peserta didik sebanyak-banyaknya sesuai jumlah kelas yang dimiliki. Hampir setiap tahun selalu dilaksanakan pembangunan gedung untuk menampung pertambahan jumlah peserta didik yang terus membeludak.
Namun, karena tidak dipertimbangkan jumlah tenaga pendidik yang tersedia dan tingkat kompetensi tenaga pendidik, akibatnya kualitas peserta didik bukan semakin meningkat melainkan semakin menurun. Kenapa? Karena hal demikian memaksa lembaga pendidikan harus bersiasat “yang penting tiap kelas ada gurunya”. Dengan terpaksa pula, guru yang bukan bidangnya harus mengajar materi tertentu.
Ini jelas akan merugikan peserta didik. Pengetahuan yang diterima bukan dari ahlinya tentu akan menimbulkan banyak kemungkinan negatif. Sedikitnya, guru yang terpaksa tersebut tidak akan dapat mentransformasikan ilmu pengetahuan yang seharusnya kepada peserta didik. Atau yang lebih mengerikan bila guru hanya bermodal tiga kata saat masuk kelas: buka halaman, kerjakan, dan kumpulkan.
Dari berbagai permasalahan di atas yang berorientasi pada bisnis pendidikan memang perlu mendapat perhatian lebih dari setiap lapisan. Gerakan peningkatan pendidikan yang tidak seirama tersebut mangakibatkan munculnya kesenjangan pendidikan yang semakin dalam. Banyak lembaga pendidikan yang masih mampu berdiri bukan karena tingkat kualitas lembaganya melainkan karena jumlah peserta didiknya.
Yang demikian dapat dianalogikan sebagai sebuah rumah yang hanya bagus di bagian luarnya. Sementara di dalamnya berkumpul banyak kerusakan yang akan segera merobohkan rumah tersebut. Bahkan sesuatu yang keluar dari rumah tersebut tidak bisa diharapkan menjadi hal yang bermanfaat bagi sekitarnya.
Permasalahan pendidikan yang seperti ini memang sulit untuk dinyatakan dengan angka. Sebab, tak dapat dimungkiri bila lembaga pendidikan harus melaporkan kepada pemerintah bahwa lembaganya baik-baik saja atau bahkan sedang mengalami perkembangan demi mempertahankan lembaga tersebut. Cara paling mudah untuk melihat fakta ini adalah dengan memasuki lembaga tersebut dan memperhatikan bagaimana tindak tanduknya.
Cara lain adalah dengan melihat daya saing peserta didiknya. Bagaimanapun, peserta didik merupakan produk dari hasil proses pendidikan sebuah lembaga dan lingkungan pendidikan. Jika produk tersebut tidak menunjukkan kualitas yang mumpuni bisa diperhatikan bagaimana prosesnya yang telah berlangsung sebelumnya.
Jika menggunakan cara yang kedua ini, maka secara makro dapat dilihat bagaimana peringkat pendidikan Indonesia di dunia. Jika peringkat pendidikan Indonesia di dunia menunjukkan penurunan maka kemungkinan besar, pendidikan Indonesia memang sedang mengalami permasalahan mendasar dalam pelaksanaan prosesnya.
Memang kondisi pendidikan demikian sulit ditemukan solusinya. Berbagai kebijakan terkait pendidikan seringkali bermata dua. Misalnya, pemerintah membuat kebijakan dengan maksud baik demi peningkatan kualitas pendidikan, namun dalam realisasinya justru dipermainkan oleh oknum-oknum berkepentingan. Pemerintah memberikan kenaikan gaji bagi guru dengan tujuan agar guru dapat mengajar sebaik-baiknya. Akan tetapi, yang muncul menjadi mind set dalam diri guru adalah kenaikan gajinya semata. Kualitas mengajarnya tidak mengalami peningkatan tapi orientasi mengajar malah berputar sembilan puluh derajat, bukan lagi demi peningkatan pendidikan melainkan demi gaji.
Alhasil, dapatlah semua pihak mengoreksi lembaga pendidikan yang berkembang di daerahnya masing-masing. Dapatlah melihat peningkatan kualitas pendidikan yang ada di lembaga-lembaga terdekat dengan melihat produk yang telah dihasilkan. Sehingga jelaslah bahwa upaya peningkatan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah berbuah gigitan jari semata. Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar