Oleh :
Nensy ratnasari
Jurusan Pendidikan Ekonomi,
Universitas Negeri Surabaya
Profesionalisme merupakan sikap profesional yang berarti melakukan
sesuatu sebagai pekerjaan pokok dan bukan sebagai pengisi waktu luang atau
sebagai hoby belaka. Seorang profesional mempunyai kebermaknaan ahli (expert)
dengan pengetahuan yang dimiliki dalam melayani pekerjaannya. Tanggung jawab
(responsibility) atas keputusannya baik intelektual maupun sikap, dan memiliki
rasa kesejawatan menjunjung tinggi etika profesi dalam suatu organisasi yang
dinamis. Seorang profesional memberikan pelayanan pekerjaan secara terstruktur.
Hal ini dapat dilihat dari tugas personal yang mencerminkan suatu pribadi yaitu
terdiri dari konsep diri (self concept), ide yang muncul dari diri sendiri
(self idea), dan realita atau kenyataan dari diri sendiri (self reality).
Guru sebagai pendidik adalah tokoh yang paling banyak bergaul dan
berinteraksi dengan para murid dibandingkan dengan personel lainnya di sekolah.
Guru bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil
pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, melakukan penelitian dan
pengkajian, dan membuka komunikasi dengan masyarakat. Menggerakkan dan
mendorong peserta didik agar semangat dalam belajar, sehingga semangat belajar
peserta didik benar-benar dapat menguasai bidang ilmu yang dipelajari. Guru
mata pelajaran juga harus membantu peserta didik untuk dapat memperoleh pembinaan
yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan yang dimiliki.
Guru yang memenuhi standar adalah guru yang memenuhi kualifikasi
yang dipersyaratkan dan memahami benar apa yang harus dilakukan, baik ketika di
dalam kelas maupun di luar kelas. Disamping tugas mengajar sebagai tugas pokok
seorang guru, ada juga beberapa persoalan atau tugas prinsip yang semua guru
harus tahu dan menguasainya sebagai bagian dari tugas seorang guru yang
profesional. Yakni: tugas administrasi kurikulum dan pengembangannya,
pengelolaan peserta didik, personel, prasarana dan sarana, keuangan, layanan
khusus, dan hubungan sekolah-masyarakat. Persoalan diatas dapat membebani tugas
guru karena tidak terkait langsung dengan tugas mengajarnya. Akan tetapi jika
dicermati ternyata tugas-tugas tersebut ada kaitannya dengan ketertiban dan
kerapian tugas guru.
Dari alasan inilah pemerintah mengeluarkan kebijakan PPG. Namun
menurut saya adanya PPG ini menunjukkan bahwa praktik
pendidikan keguruan oleh UNJ, Unnes, UPI, UNY, Unesa, UNS, IKIP PGRI, dan
lainnya selama ini bukanlah pendidikan profesi guru! Loh, memangnya selama ini kampus-kampus kependidikan tersebut
tidak mencetak guru-guru berkualitas? Apakah para guru lulusan kampus-kampus
kependidikan, selama ini tidak mencetak
guru-guru sebagai sebuah profesi? Apakah ketika mahasiswa kampus keguruan
tersebut lulus dan kemudian mengajar di sekolah, mereka tidak dapat disebut
“berprofesi sebagai guru”? Oleh karena itu saya curiga, betul-betul curiga,
bahwa hadirnya PPG adalah upaya untuk meningkatkan kualitas guru tapi dengan
cara yang salah!
Guru bukanlah profesi seperti
dokter, psikolog, atau advokat, yang setelah selesai mendapat gelar sarjana
maka harus masuk dalam pendidikan profesi. Dokter, psikolog dan advokat memang
perlu pendidikan profesi lebih lanjut, karena kemudian bidang kerjanya menjadi
lebih spesifik, missal ada dokter spesialis jantung, kulit, THT dan lainnya,
psikolog dan advokat pun demikian. Nah, guru berbeda, sangat berbeda.
Spesifikasi guru dalam mengajar sudah ada di dalam pendidikan S1, yakni dengan
adanya pendidikan biologi, matematika, fisika, sejarah, bahasa Indonesia,
bahasa Inggris, bimbingan dan konseling dan lainnya. Jadi, amatlah lucu kalau
kemudian dibuat pendidikan profesi, untuk apa?
Kalau alasannya guru-guru
sekarang tidak berkualitas—atau dalam istilah awam “tidak profesional”—yang
harus dibenahi adalah praktik pendidikan di S1, bukan membuat model pendidikan
baru. Menyelenggarakan PPG jelas merugikan mahasiswa S1 kependidikan, karena
sudah susah payah mereka keluar duit, tenaga, pemikiran, konsentrasi dan
lainnya di pendidikan keguruan S1, ketika lulus, mereka harus dipaksa untuk
mengikuti pendidikan profesi lagi agar dapat diangkat sebagai guru!
Maka dari itu
saya akan memberikan solusi agar kualitas pendidikan di Indonesia lebih baik
tanpa adanya PPG yang dirasa sebagai cara mencetak guru secara “singkat”. Jika
dirasa alasan adanya PPG ini adalah ilmu dari mahasiswa yang dicetak di
Universitas Keguruan kurang maka rubah saja mekanisme pembelajaran yang ada
pada Universitas tersebut. Salah satunya dengan penerapan perbandingan
pembelajaran murni dan pendidikan sebesar 70 : 30. Dimana di semester awal para
mahasiswa diberikan ilmu dan pembelajaran mengenai keilmuan murni mereka tahap
ini bisa dilakukan hingga semester 5, yang saya rasa cukup bagi para mahasiswa
untuk mendalami keilmuan mereka baru di semester 6 hingga 8 para mahasiswa di
berikan keilmuan mengenai dunia pendidikan mulai dari mata kuliah psikologi
pendidikan hingga prakter mengajar.
Jika melihat sistem pembelajaran yang ada di Universitas
kependidikan yang ada saat ini adalah sebesar 50 : 50 dan penyampaiannya pun
ada di setiap semsester sehingga bisa dikatakan tidak dapat terkonsentrasi
dengan jelas. Mahasiswa tidak dapat mendalami keilmuan mereka dengan baik
karena konsep pembelajaran yang masih seperti puzzle di setiap semesternya.
Selain itu jika kita melihat realita yang ada adalah mereka
mahasiswa yang berada pada Universitas Kependidikan rata-rata adalah mahasiwa
dengan pilihan kedua ataupun ketiga. Rata-rata dari mereka pilihan pertama
adalah jurusan murni bukan jurusan kependidikan. Hanya segelintir orang saja
yang memilih kependidikan menjadi pilihan kesatu mereka. Maka dari itu dalam
sistem seleksi calon mahasiswa pihak universitas harus benar-benar bisa memilih
calon mahasiwa yang benar benar memiliki bakat dan minat menjadi seorang guru.
Salah satu cara bisa dilihat melalui cara pemilihan jurusan yang kedua adalah
melalui tahapan tes. Jika selama ini tahapan tes masuk Universitas adalah
raport dan tes tulis saja tes praktek hanya untuk jurusan kesenian dan
keolahragaan. Menurut saya cara mengetahui bakat dan minat calon mahasiswa baru
perlu adanya beberapa tahapan tes seperti tes tulis ( untuk mengetahui aspek
kognitif mereka ), tes wawancara ( untuk mengetahui lebih dalam mengenai diri
dan tujuan mereka ), dan yang terakhir adalah tes praktek ( untuk mengetahui
bakat mengajar yang dimiliki oleh calon mahasiswa ) dengan tata cara dan
tahapan ini diaharapkan dapat merubah kondisi pendidikan yanga ada di negara Indonesia saat ini.
Sekian tulisan dari saya. Semoga dengan adanya tulisan saya ini,
para mahasiwa kependidikan di Indonesia dapat merubah cara pandang mereka dan
benar-benar mampu membuktikan bahwa lulusan dari Universitas kependidikan tidak
dipandang remeh dan sebelah mata. Lalu saya juga berharap dengan adanya tulisan
ini dapat menjadi acuan bapak Menteri Pendidikan Anies Baswedan untuk
mempertimbangkan kembali adanya PPG di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar