Sabtu, 02 Mei 2015

Kritikan Terhadap Kebijakan Program Profesi Guru (PPG) dan Solusi untuk Dunia Pendidikan



Kritikan Terhadap Kebijakan Program Profesi Guru (PPG) dan Solusi untuk Dunia Pendidikan
Oleh :

Nensy ratnasari 
Jurusan Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Surabaya


Profesionalisme merupakan sikap profesional yang berarti melakukan sesuatu sebagai pekerjaan pokok dan bukan sebagai pengisi waktu luang atau sebagai hoby belaka. Seorang profesional mempunyai kebermaknaan ahli (expert) dengan pengetahuan yang dimiliki dalam melayani pekerjaannya. Tanggung jawab (responsibility) atas keputusannya baik intelektual maupun sikap, dan memiliki rasa kesejawatan menjunjung tinggi etika profesi dalam suatu organisasi yang dinamis. Seorang profesional memberikan pelayanan pekerjaan secara terstruktur. Hal ini dapat dilihat dari tugas personal yang mencerminkan suatu pribadi yaitu terdiri dari konsep diri (self concept), ide yang muncul dari diri sendiri (self idea), dan realita atau kenyataan dari diri sendiri (self reality).

Guru sebagai pendidik adalah tokoh yang paling banyak bergaul dan berinteraksi dengan para murid dibandingkan dengan personel lainnya di sekolah. Guru bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, melakukan penelitian dan pengkajian, dan membuka komunikasi dengan masyarakat. Menggerakkan dan mendorong peserta didik agar semangat dalam belajar, sehingga semangat belajar peserta didik benar-benar dapat menguasai bidang ilmu yang dipelajari. Guru mata pelajaran juga harus membantu peserta didik untuk dapat memperoleh pembinaan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan yang dimiliki.

Guru yang memenuhi standar adalah guru yang memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan dan memahami benar apa yang harus dilakukan, baik ketika di dalam kelas maupun di luar kelas. Disamping tugas mengajar sebagai tugas pokok seorang guru, ada juga beberapa persoalan atau tugas prinsip yang semua guru harus tahu dan menguasainya sebagai bagian dari tugas seorang guru yang profesional. Yakni: tugas administrasi kurikulum dan pengembangannya, pengelolaan peserta didik, personel, prasarana dan sarana, keuangan, layanan khusus, dan hubungan sekolah-masyarakat. Persoalan diatas dapat membebani tugas guru karena tidak terkait langsung dengan tugas mengajarnya. Akan tetapi jika dicermati ternyata tugas-tugas tersebut ada kaitannya dengan ketertiban dan kerapian tugas guru.
Dari alasan inilah pemerintah mengeluarkan kebijakan PPG. Namun menurut saya adanya PPG ini menunjukkan bahwa praktik pendidikan keguruan oleh UNJ, Unnes, UPI, UNY, Unesa, UNS, IKIP PGRI, dan lainnya selama ini bukanlah pendidikan profesi guru! Loh, memangnya selama ini kampus-kampus kependidikan tersebut tidak mencetak guru-guru berkualitas? Apakah para guru lulusan kampus-kampus kependidikan,  selama ini tidak mencetak guru-guru sebagai sebuah profesi? Apakah ketika mahasiswa kampus keguruan tersebut lulus dan kemudian mengajar di sekolah, mereka tidak dapat disebut “berprofesi sebagai guru”? Oleh karena itu saya curiga, betul-betul curiga, bahwa hadirnya PPG adalah upaya untuk meningkatkan kualitas guru tapi dengan cara yang salah!

Guru bukanlah profesi seperti dokter, psikolog, atau advokat, yang setelah selesai mendapat gelar sarjana maka harus masuk dalam pendidikan profesi. Dokter, psikolog dan advokat memang perlu pendidikan profesi lebih lanjut, karena kemudian bidang kerjanya menjadi lebih spesifik, missal ada dokter spesialis jantung, kulit, THT dan lainnya, psikolog dan advokat pun demikian. Nah, guru berbeda, sangat berbeda. Spesifikasi guru dalam mengajar sudah ada di dalam pendidikan S1, yakni dengan adanya pendidikan biologi, matematika, fisika, sejarah, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bimbingan dan konseling dan lainnya. Jadi, amatlah lucu kalau kemudian dibuat pendidikan profesi, untuk apa?
Kalau alasannya guru-guru sekarang tidak berkualitas—atau dalam istilah awam “tidak profesional”—yang harus dibenahi adalah praktik pendidikan di S1, bukan membuat model pendidikan baru. Menyelenggarakan PPG jelas merugikan mahasiswa S1 kependidikan, karena sudah susah payah mereka keluar duit, tenaga, pemikiran, konsentrasi dan lainnya di pendidikan keguruan S1, ketika lulus, mereka harus dipaksa untuk mengikuti pendidikan profesi lagi agar dapat diangkat sebagai guru! 
            Maka dari itu saya akan memberikan solusi agar kualitas pendidikan di Indonesia lebih baik tanpa adanya PPG yang dirasa sebagai cara mencetak guru secara “singkat”. Jika dirasa alasan adanya PPG ini adalah ilmu dari mahasiswa yang dicetak di Universitas Keguruan kurang maka rubah saja mekanisme pembelajaran yang ada pada Universitas tersebut. Salah satunya dengan penerapan perbandingan pembelajaran murni dan pendidikan sebesar 70 : 30. Dimana di semester awal para mahasiswa diberikan ilmu dan pembelajaran mengenai keilmuan murni mereka tahap ini bisa dilakukan hingga semester 5, yang saya rasa cukup bagi para mahasiswa untuk mendalami keilmuan mereka baru di semester 6 hingga 8 para mahasiswa di berikan keilmuan mengenai dunia pendidikan mulai dari mata kuliah psikologi pendidikan hingga prakter mengajar.
Jika melihat sistem pembelajaran yang ada di Universitas kependidikan yang ada saat ini adalah sebesar 50 : 50 dan penyampaiannya pun ada di setiap semsester sehingga bisa dikatakan tidak dapat terkonsentrasi dengan jelas. Mahasiswa tidak dapat mendalami keilmuan mereka dengan baik karena konsep pembelajaran yang masih seperti puzzle di setiap semesternya.
Selain itu jika kita melihat realita yang ada adalah mereka mahasiswa yang berada pada Universitas Kependidikan rata-rata adalah mahasiwa dengan pilihan kedua ataupun ketiga. Rata-rata dari mereka pilihan pertama adalah jurusan murni bukan jurusan kependidikan. Hanya segelintir orang saja yang memilih kependidikan menjadi pilihan kesatu mereka. Maka dari itu dalam sistem seleksi calon mahasiswa pihak universitas harus benar-benar bisa memilih calon mahasiwa yang benar benar memiliki bakat dan minat menjadi seorang guru. Salah satu cara bisa dilihat melalui cara pemilihan jurusan yang kedua adalah melalui tahapan tes. Jika selama ini tahapan tes masuk Universitas adalah raport dan tes tulis saja tes praktek hanya untuk jurusan kesenian dan keolahragaan. Menurut saya cara mengetahui bakat dan minat calon mahasiswa baru perlu adanya beberapa tahapan tes seperti tes tulis ( untuk mengetahui aspek kognitif mereka ), tes wawancara ( untuk mengetahui lebih dalam mengenai diri dan tujuan mereka ), dan yang terakhir adalah tes praktek ( untuk mengetahui bakat mengajar yang dimiliki oleh calon mahasiswa ) dengan tata cara dan tahapan ini diaharapkan dapat merubah kondisi pendidikan yanga ada di  negara Indonesia saat ini.
Sekian tulisan dari saya. Semoga dengan adanya tulisan saya ini, para mahasiwa kependidikan di Indonesia dapat merubah cara pandang mereka dan benar-benar mampu membuktikan bahwa lulusan dari Universitas kependidikan tidak dipandang remeh dan sebelah mata. Lalu saya juga berharap dengan adanya tulisan ini dapat menjadi acuan bapak Menteri Pendidikan Anies Baswedan untuk mempertimbangkan kembali adanya PPG di Indonesia.


0 komentar:

Posting Komentar