Mengenang Kartini, Ya Literasi
Oleh : Syaiful Rahman
Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya
Setiap
kali hari Kartini, banyak status dan draw
profile (DP) ucapan selamat seraya memasang gambar Ibu Kartini. Seseorang
yang sangat dibangga-banggakan oleh bangsa ini sebagai pejuang perempuan.
Meskipun sebenarnya, tidak hanya Ibu Kartini, pejuang perempuan yang cukup dan
perlu dikenang jasanya. Masih ada Cut Nyak Dien, Cut Meutia, atau penjahit Sang
Saka Merah Putih, Ibu Fatmawati. Namun, gaung mereka tidak mampu menyalip gaung
Ibu Kartini. Apa sebenarnya yang menyebabkan demikian?
Tak
dapat dimungkiri bahwa setiap pejuang selalu memberikan peninggalan.
Setidaknya, peninggalan berupa perubahan kondisi. Akan tetapi, nilai sebuah
peninggalan akan sebanding dengan nilai keabadian untuk dikenang sepanjang
masa.
Dengan
demikian, dapat diduga bahwa kalahnya Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan pejuang
perempuan lainnya adalah salah satunya karena peninggalan tersebut habis
ditelan masa. Hal ini memang sangat berbeda dengan peninggalan Ibu Kartini yang
tidak mudah ditelan masa. Buku Habis
Gelap Terbitlah Terang yang merupakan kumpulan surat-surat Ibu Kartini
kepada Abendanon telah menjadikan Ibu Kartini dikenang sejarah.
Melalui
peninggalan tersebut Ibu Kartini menjadi idola anak bangsa. Padahal,
semestinya, pejuang-pejuang perempuan lainnya tidak kalah hebatnya daripada
beliau. Jika Ibu Kartini hanya mengupayakan pendidikan kepada perempuan secara
diam-diam, pejuang lainnya justru berani berhadap-hadapan langsung dengan
penjajah. Suatu tindakan yang sangat berani untuk dimiliki seorang perempuan.
Selain
itu, dalam surat-surat Ibu Kartini yang dikirimkan kepada Abendanon juga tak
begitu tampak pemberontakan. Justru, Ibu Kartini seringkali menceritakan semua
kondisi bangsa Indonesia kepada Abendanon. Padahal, sebagaimana diketahui,
Abendanon adalah orang Belanda. Artinya, (tanpa berniat buruk) Ibu Kartini
telah melaporkan kondisi kritis Indonesia kepada penjajah.
Tindakan
semacam ini jelas tidak seberani yang dilakukan para pejuang perempuan lainnya.
Namun demikian, sekali lagi, Ibu Kartini jauh lebih populer sebab
peninggalannya berupa tulisan. Tulisan yang telah mengabadikan dirinya untuk
dikenang oleh masa.
Sangat
sesuai dengan perkataan Pramoedya Ananta Toer, “Tahu kau mengapa aku sayangi
lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin,
akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”
Oleh
karena itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Sirikit Syah dalam tulisannya di Jawa Pos pada Senin, 20 April 2015, Hari
Kartini sangat erat kaitannya dengan gerakan literasi Surabaya. Selain karena
waktu peringatan Hari Kartini bersamaan dengan peringatan setahun Surabaya
sebagai Kota Literasi, Ibu Kartini merupakan bukti konkret sejarah. Hasil karya
berupa buku akan mengabadikan penulisnya.
Demikian
juga dengan Surabaya, beberapa abad ke depan, dengan progres gerakan literasi
yang semakin membanggakan tentu akan menyebabkan kota ini tidak hanya dikenang
sebagai kota pahlawan atau kota literasi. Melainkan juga akan ada kemungkinan
besar untuk dikenang sebagai kota ilmuan Indonesia.
Menurut
saya, kemungkinan itu akan terbukti mengingat sejumlah negara yang dikenang
akibat kejayaannya. Misalnya, Yunani yang begitu dikenal sebagai negara yang
banyak menghasilkan para filsuf. Jika mau dirunut ke belakang tentu yang
menyebabkan lahirnya banyak filsuf bukan sekadar karena kehebatannya bangsa
Yunani dalam berpikir. Ada sisi lain yang mendorong, yaitu literasi.
Karena
kehebatan bangsa Yunani dalam mengembangkan literasi berupa membaca dan menulis
itulah akhirnya dikenang sepanjang masa. Socrates, Plato, dan Aristoteles
sangat terkenal karena hasil pemikiran mereka terkumpul dalam tulisan yang
kemudian dijadikan buku. Antonio Gramsci dikenang sebab hasil pemikirannya
ditulis dalam lembaran-lembaran, Prison
Note Book.
Apakah
tidak ada yang lebih hebat dari mereka? Tentu saja kita tidak bisa menutup
kemungkinan bahwa masih banyak yang jauh lebih hebat namun tidak menulis. Bukti
lain yang dapat diambil bahwa menulis dapat mengabadikan seseorang adalah
lahirnya teori ekonomi. Adam Smith yang disebut-sebut sebagai Bapak Ekonomi
dengan karyanya yang juga sangat terkenal The
Wealth of Nation merupakan satu bukti yang tak dapat dilupakan. Kenapa?
Pasalnya,
The Wealth of Nation bukanlah murni
pemikiran Adam Smith. Melainkan buah pemikiran para ekonom sebelumnya. Adam
Smith hanya mengumpulkan dan membukukannya. Sehingga jejak sejarah Adam Smith
lebih pasti daripada para ekonom sebelumnya. Dalam bukunya, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Deliarnov
juga menjelaskan bahwa pemikiran-pemikiran yang tertuang dalam buku The Wealth of Nation sebenarnya kumpulan
dari pemikiran-pemikiran ekonom Yunani.
Sehingga
tak heran bila kemudian Pramoedya Ananta Toer dalam buku Rumah Kaca sempat mengatakan “Orang boleh pandai setinggi langit,
tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang ditelan masyarakat dan dari
sejarah.” Berbagai bukti telah menunjukkan kenyataan di lapangan.
Dalam
momen Hari Kartini ini, masyarakat Surabaya dan seluruh bangsa Indonesia tidak
seharusnya hanya mengenang perjuangan Ibu Kartini dalam memperjuangkan
pendidikan perempuan. Tidak seharusnya hanya memasang DP Ibu Kartini atau hanya
memasang status “Selamat Hari Kartini.” Ada hal yang jauh lebih penting sebagai
refleksi demi kemajuan bangsa.
Gerakan
nyata untuk mendorong bangsa Indonesia agar senang membaca dan menulis perlu
terus dinyalakan. Dukungan dari seluruh bangsa Indonesia, baik masyarakat
kecil, menengah, maupun pemerintah perlu terus digalakkan. Gerak seirama demi
kemajuan Indonesia Raya. Salam literasi!
Surabaya,
21 April 2015
0 komentar:
Posting Komentar