Sabtu, 02 Mei 2015

Memang Kartini, Ya Literasi



Mengenang Kartini, Ya Literasi
Oleh : Syaiful Rahman
Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya
 
Setiap kali hari Kartini, banyak status dan draw profile (DP) ucapan selamat seraya memasang gambar Ibu Kartini. Seseorang yang sangat dibangga-banggakan oleh bangsa ini sebagai pejuang perempuan. Meskipun sebenarnya, tidak hanya Ibu Kartini, pejuang perempuan yang cukup dan perlu dikenang jasanya. Masih ada Cut Nyak Dien, Cut Meutia, atau penjahit Sang Saka Merah Putih, Ibu Fatmawati. Namun, gaung mereka tidak mampu menyalip gaung Ibu Kartini. Apa sebenarnya yang menyebabkan demikian?
Tak dapat dimungkiri bahwa setiap pejuang selalu memberikan peninggalan. Setidaknya, peninggalan berupa perubahan kondisi. Akan tetapi, nilai sebuah peninggalan akan sebanding dengan nilai keabadian untuk dikenang sepanjang masa.
Dengan demikian, dapat diduga bahwa kalahnya Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan pejuang perempuan lainnya adalah salah satunya karena peninggalan tersebut habis ditelan masa. Hal ini memang sangat berbeda dengan peninggalan Ibu Kartini yang tidak mudah ditelan masa. Buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang merupakan kumpulan surat-surat Ibu Kartini kepada Abendanon telah menjadikan Ibu Kartini dikenang sejarah.
Melalui peninggalan tersebut Ibu Kartini menjadi idola anak bangsa. Padahal, semestinya, pejuang-pejuang perempuan lainnya tidak kalah hebatnya daripada beliau. Jika Ibu Kartini hanya mengupayakan pendidikan kepada perempuan secara diam-diam, pejuang lainnya justru berani berhadap-hadapan langsung dengan penjajah. Suatu tindakan yang sangat berani untuk dimiliki seorang perempuan.
Selain itu, dalam surat-surat Ibu Kartini yang dikirimkan kepada Abendanon juga tak begitu tampak pemberontakan. Justru, Ibu Kartini seringkali menceritakan semua kondisi bangsa Indonesia kepada Abendanon. Padahal, sebagaimana diketahui, Abendanon adalah orang Belanda. Artinya, (tanpa berniat buruk) Ibu Kartini telah melaporkan kondisi kritis Indonesia kepada penjajah.
Tindakan semacam ini jelas tidak seberani yang dilakukan para pejuang perempuan lainnya. Namun demikian, sekali lagi, Ibu Kartini jauh lebih populer sebab peninggalannya berupa tulisan. Tulisan yang telah mengabadikan dirinya untuk dikenang oleh masa.
Sangat sesuai dengan perkataan Pramoedya Ananta Toer, “Tahu kau mengapa aku sayangi lebih dari siapapun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”
Oleh karena itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Sirikit Syah dalam tulisannya di Jawa Pos pada Senin, 20 April 2015, Hari Kartini sangat erat kaitannya dengan gerakan literasi Surabaya. Selain karena waktu peringatan Hari Kartini bersamaan dengan peringatan setahun Surabaya sebagai Kota Literasi, Ibu Kartini merupakan bukti konkret sejarah. Hasil karya berupa buku akan mengabadikan penulisnya.
Demikian juga dengan Surabaya, beberapa abad ke depan, dengan progres gerakan literasi yang semakin membanggakan tentu akan menyebabkan kota ini tidak hanya dikenang sebagai kota pahlawan atau kota literasi. Melainkan juga akan ada kemungkinan besar untuk dikenang sebagai kota ilmuan Indonesia.
Menurut saya, kemungkinan itu akan terbukti mengingat sejumlah negara yang dikenang akibat kejayaannya. Misalnya, Yunani yang begitu dikenal sebagai negara yang banyak menghasilkan para filsuf. Jika mau dirunut ke belakang tentu yang menyebabkan lahirnya banyak filsuf bukan sekadar karena kehebatannya bangsa Yunani dalam berpikir. Ada sisi lain yang mendorong, yaitu literasi.
Karena kehebatan bangsa Yunani dalam mengembangkan literasi berupa membaca dan menulis itulah akhirnya dikenang sepanjang masa. Socrates, Plato, dan Aristoteles sangat terkenal karena hasil pemikiran mereka terkumpul dalam tulisan yang kemudian dijadikan buku. Antonio Gramsci dikenang sebab hasil pemikirannya ditulis dalam lembaran-lembaran, Prison Note Book.
Apakah tidak ada yang lebih hebat dari mereka? Tentu saja kita tidak bisa menutup kemungkinan bahwa masih banyak yang jauh lebih hebat namun tidak menulis. Bukti lain yang dapat diambil bahwa menulis dapat mengabadikan seseorang adalah lahirnya teori ekonomi. Adam Smith yang disebut-sebut sebagai Bapak Ekonomi dengan karyanya yang juga sangat terkenal The Wealth of Nation merupakan satu bukti yang tak dapat dilupakan. Kenapa?
Pasalnya, The Wealth of Nation bukanlah murni pemikiran Adam Smith. Melainkan buah pemikiran para ekonom sebelumnya. Adam Smith hanya mengumpulkan dan membukukannya. Sehingga jejak sejarah Adam Smith lebih pasti daripada para ekonom sebelumnya. Dalam bukunya, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Deliarnov juga menjelaskan bahwa pemikiran-pemikiran yang tertuang dalam buku The Wealth of Nation sebenarnya kumpulan dari pemikiran-pemikiran ekonom Yunani.
Sehingga tak heran bila kemudian Pramoedya Ananta Toer dalam buku Rumah Kaca sempat mengatakan “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang ditelan masyarakat dan dari sejarah.” Berbagai bukti telah menunjukkan kenyataan di lapangan.
Dalam momen Hari Kartini ini, masyarakat Surabaya dan seluruh bangsa Indonesia tidak seharusnya hanya mengenang perjuangan Ibu Kartini dalam memperjuangkan pendidikan perempuan. Tidak seharusnya hanya memasang DP Ibu Kartini atau hanya memasang status “Selamat Hari Kartini.” Ada hal yang jauh lebih penting sebagai refleksi demi kemajuan bangsa.
Gerakan nyata untuk mendorong bangsa Indonesia agar senang membaca dan menulis perlu terus dinyalakan. Dukungan dari seluruh bangsa Indonesia, baik masyarakat kecil, menengah, maupun pemerintah perlu terus digalakkan. Gerak seirama demi kemajuan Indonesia Raya. Salam literasi!

Surabaya, 21 April 2015

0 komentar:

Posting Komentar