Rakernas 2 IMAPESI

Rakernas 2 IMAPESI diselenggarakan di Universitas Jember.

Rakernas 1 IMAPESI

Rakernas 1 IMAPESI diselenggarakan di Universitas Negeri Jogjakarta

MUSWIL 2 IMAPESI

Musyawarah Wilayah 2 tahun 2011

Don't miss it!

Musyawarah Wilayah 3 tahun 2013 Ikatan Mahasiswa Pendidikan Ekonomi Seluruh Indonesia

Munas 4 IMAPESI

Musyawarah Nasional ke 4 Ikatan Mahasiswa Pendidikan Ekonomi Seluruh Indonesia sukses diselenggarakan.

Sabtu, 02 Mei 2015

Pendidikan Kurikulum atau Pendidikan Sumber Daya Manusia



Pendidikan Kurikulum atau Pendidikan Sumber Daya Manusia
Oleh : Febrika Yogie Hermanto
Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas EKonomi Universitas Negeri Surabaya

            Dua Mei adalah peringatan hari pendidikan nasional di Indonesia. Seluruh kaum terpelajar memperingatinya dengan berbagai macam cara dan harapan masing-masing tentang pendidikan. Di jalan raya, sekolah, kampus maupun di depan gedung-gedung pemerintahan selalu ramai dengan cara-cara yang dilakukan kaum terpelajar di Indonesia.
            Banyak harapan yang diinginkan oleh masyarakat tentang kemajuan pendidikan di Indonesia ini. Mulai dari infrastruktur sekolah, standar isi pendidikan, standar proses dan banyak lagi yang lainnya. Akan tetapi yang sangat melekat kental menjadi buah bibir masyarakat Indonesia selalu tentang kurikulum pendidikan yang selalu berganti di setiap periode pergantian pemerintahan. Sehingga muncul istilah “ganti menteri pasti ganti kurikulum” di masyarakat.
            Fakta tersebut hanya membuat pendidikan di Indonesia terlihat kerdil dibanding dengan negara-negara lain. Bagaimana tidak jika di tiap tahunnya kita hanya di sibukkan dengan kurikulum dan pelatihan-pelatihan untuk mempersiapkan hal tersebut. Setelah siap dilaksanakan ternyata kurikulum yang sudah dipersiapkan sejak awal digantikan lagi dengan yang terbaru. Alsannya karena kurikulum yang dilaksanakan tidak relevan dilakukan atau belum ada kesiapan dari pihak sekolah-sekolah yang akan melakukannya.
            Jika berkaca dari negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dsb Indonesia masih kalah maju dalam bidang pendidikan. Apa yang membuat hal ini terjadi? Dilihat dari berbagai macam aspek ternyata kita temukan fakta yang menarik. Masing-masing sekolah dan perguruan tinggi yang mencetak tenaga-tenaga pendidik malah berfokus kepada pembuatan kurikulum. Secara keilmuan yang sesuai dengan program studinya malah kurang diperhatikan. Contohnya mahasiswa dalam pembelajarannya selama empat tahun kemampuan yang harus bisa ia lakukan adalah membuat rencana pembelajaran yang disesuaikan dengan kurikulum. Dalam program praktek lapangan pun mahasiswa yang sedang melakukan pengajaran yang menjadi awal tugasnya adalah tentang membuat rencana pembelajaran, lebih-lebih diharuskan membuat selama satu tahun. Lantas kapan kita akan memperdalam tentang keilmuan masing-masing program studi yang akan di aplikasikan kelak?
            Memang lucu negeri ini dengan berbagai keunikannya. Apabila berbicara tentang pendidikan maka yang benar output yang akan dihasilkan sumber daya manusia ataukah kurikulum? Jika dilihat dari fakta saat ini sepertinya semua aspek pendidikan lebih menekankan pada pendidikan kurikulum. Bagaimana tidak, setiap pengajar di Indonesia pasti hal pertama yang dipikirkan dalam pendidikan adalah pembuatan rencana pembelajaran (kurikulum), karena sejak mulai dini sudah dikenalkan oleh hal tersebut.
            Apabila dilihat dari sektor rill peluang pendidikan ini merupakan sisi yang paling sentral dalam kemajuan bangsa ini. Produk utama yang harus dihasilkan oleh pendidikan adalah sumber daya manusia yang berkualitas, bukan sebatas membuat kurikulum saja. Jika dianalogikan kurikulum ini adalah media guru untuk membuat rencana ke depan dalam memberikan ilmu yang dimiliki. Jika sejak mulai diajarkan dalam dunia kampus pendidikan saat ini maka ilmu yang akan diberikan pun tidak akan maksimal, karena ilmu yang dimiliki oleh sang guru pun juga kurang matang. Akhirnya yang dapat dilakukan oleh guru tidak akan maksimal sehingga tujuan dari pendidikan pun tidak tersampaikan dengan baik.
            Ada satu hal lagi tentang kebijakan profesionalisme guru. Program profesionalisme guru merupakan suatu hal yang positif seharusnya. Dalam pelaksanaannya hal ini ditujukan untuk membentuk guru/tenaga pendidik menjadi profesional di bidangnya. Jika dilihat dalam pelaksanaannya di Unesa Program Profesi Guru saat ini dilakukan satu tahun, dimana menurut kurikulum PPG terdiri dari dua semester. Semester pertama membahas tentang pembuatan rancangan pembelajaran dan semester selanjutnya adalah praktik di sekolah masing-masing. Bayangkan saja dalam program profesi guru pun banyak waktu yang diperlukan lagi dalam pembahasan tentang membuat rancangan pembelajaran. Jadi bisa dikatakan bahwa pendidikan di Indonesia ini terlalu berfokus pada kurikulum bukan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.
            Mengutip yang disampaikan bu Dhiah Ftirayati S.Pd., M.E dosen FE Unesa “jika program PPG ini dilaksanakan dengan peraturan yang dicanangkan oleh pemerintah saat ini haruslah ada kebijakan lain yang memperkuat untuk lulusan perguruan tinggi keguruan dimana lahan keahliannya akan diambil oleh orang-orang murni. Bukankah program profesionalisme lulusan murni pun juga tidak dapat diakses oleh orang-orang lulusan kependidikan. Karena keahlian yang dimiliki oleh lulusan strata satu program kependidikan akan dinilai sama dengan yang murni ketika telah sama-sama mengikuti program PPG ini.” Sebenarnya program profesi guru ini sangat positif jika di khususkan oleh guru untuk meningkatkan kualitasnya sebagai tenaga pendidik. Jadi setiap instansi yang melakukan kegiatan program belajar mengajar mulai dari tingkat dasar hingga tinggi haruslah memiliki sertifikasi tenaga pendidik yang profesional sehingga tenaga pendidik di Indonesia ini benar-benar ahli dan dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas di bidangnya.
            Berkaca dalam kebijakan serupa dalam profesi lain seperti dokter, apoteker, dsb yang dapat mengisinya adalah lulusan yang linier dengan programnya. Tidak bisa selain lulusan dokter bisa mengambil program profesi dokter dan begitu juga dalam profesi apoteker yang bukan lulusan dari farmasi juga tidak bisa mengambil program profesi apoteker. Jika tujuan utama pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme tenaga pendidikan di Indonesia maka haruslah ada spesifikasi khusus setiap profesi yang akan diambil sesuai dengan keahliannya yang linier di setiap program profesinya. Sehingga lulusan yang dihasilkan perguruan-perguruan tinggi kependidikan dapat berkonsentrasi penuh dalam meningkatkan pendidikan di Indonesia untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.
            Program pendidikan yang berfokus pada kurikulum dan sedikit mengesampingkan tujuan utamanya yakni untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas sudah sejak lama ditinggalkan setiap instansi kependidikan di Indonesia. Akan tetapi setiap kalangan yang bergelut dalam bidang pendidikan tersebut tidak sadar melakukannya. Hal ini ditunjang juga karena kementrian pendidikan dan kebudayaan selalu terjadi polemik dalam setiap kebijakan kurikulum yang sering berganti di setiap kali ganti pengambil kebijakan disana.
            Berpikir tentang bagaimana cara membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dengan merangkumnya melalui kurikulum yang terjadi saat ini sangat menghabiskan waktu sehingga konteks pendidikan yang harus dilakukan malah ditinggalkan. Padahal jika berbicara tentang pendidikan maka kita berbicara tentang ilmu yang akan diberikan kepada peserta didik. Seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah merumuskan kebutuhan pendidikan di Indonesia ke depan dalam jangka panjang sehingga persiapan dan yang akan dijalankan sangat relevan dalam tujuan bangsa ini. Dalam merumuskannya pun harusnya mengikut sertakan para pakar-pakar pendidikan dan guru-guru besar yang dimiliki oleh Indonesia dari sabang sampai Merauke, sehingga semua permasalahan yang ada dapat terwakili dengan solusi yang bersifat berjangka. Jadi, apabila disesuaikan dengan kebutuhan jangka pendek maupun jangka menengah yang sudah tidak relevan lagi dengan pendidikan di Indonesia tidak sampai mengganti kurikulum. Oleh karena itu pemerintah janganlah terlalu lama ribut-ribut tentang kurikulum yang tepat dilakukan untuk Indonesia sehingga pada kalangan guru dan dosen masih banyak waktu untuk memperdalam ilmu yang akan diberikan kepada anak didiknya.

Formalitas Pendidikan yang Tergadai!



Formalitas Pendidikan yang Tergadai!
Oleh : Syaiful Rahman
Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakltas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya
 
Pergeseran masa memang tidak dapat dihindari. Bahkan dunia pendidikan kita pun harus ikut tergeser pula. Melihat berbagai kenyataan yang ada, kini lembaga pendidikan justru dibawa ke arah yang kurang begitu jelas. Lembaga pendidikan serupa pabrik-pabrik ijazah yang sudah tergadaikan. Nilai yang berupa angka-angka pada lembaran ijazah sudah tampak tak memiliki siungnya lagi. Mengejar nilai sama dengan mengejar bayang-bayang yang justru melahirkan kegelapan.
Entah kenapa kali ini saya sangat suka membicarakan tentang menteri Kelautan Susi Pudjiastuti. Barangkali karena saya masih percaya bahwa beliau merupakan satu-satunya menteri yang cukup nyenterik dengan segala atributnya yang saat ini dia sandang. Terutama latar belakangnya yang telah membuat sebagian orang, khususnya saya, harus berpikir panjang tidak hanya mengenai kebijakan politik melainkan juga kebijakan pendidikan.
Susi Pudjiastuti merupakan menteri yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang menakjubkan. Justru dia memilih tidak melanjutkan sekolah setelah kelas 2 SMA. Dia memilih untuk berjuang menyambung hidupnya dengan cara berwirausaha. Suatu kenyataan telah terjadi, dia bisa sukses dengan usahanya itu. Saya tidak mengatakan bahwa itu merupakan sebuah keberuntungan. Sebab, bagaimanapun di sana ada unsur usaha yang keras, pantang menyerah, dan skillyang dimilikinya.
Masih tentang Susi Pudjiastuti, dia pun semakin mulus perjalanan hidupnya setelah menikah dengan seorang laki-laki yang juga cukup sukses. Artinya, setelah pernikahannya itu, jaringan atau networking untuk mengembangkan usahanya semakin luas. Dan kini Susi pun menggapai kesuksesan yang luar biasa bahkan dapat duduk di kursi parlemen.
Kalau dilihat, kisah Susi itu tidak menunjukkan nilai yang ada di lembaran ijazah sama sekali. Dia hanya bermodalkan skill dan jaringan sehingga mengantarkannya menuju kesuksesan. Dua komponen itu menjadi komponen utama kesuksesan Susi.
Karena itulah, saya mulai berpikir tentang nasib lembaga pendidikan. Khususnya bagi para pelajar yang hingga kini masih didoktrin untuk memiliki nilai yang tinggi. Hampir setiap orang tua pelajar akan sangat senang jika anaknya memiliki nilai yang tinggi. Berbagai cara pun dilakukan agar anaknya mendapatkan peringkat yang tinggi. Bahkan, orang tua rela mengurung anaknya demi angka di lembaran ijazah. Mereka tidak peduli dengan kehidupan sosial masa depan sang anak.
Doktrinasi itu tidak hanya terjadi di kalangan orang awam. Orang tua yang memiliki pendidikan tinggi pun seringkali memaksakan kehendaknya demi mencapai nilai yang tinggi. Akibatnya, banyak orang yang mulai membangun kursus-kursus privat yang menjanjikan prestasi bagi peserta didik. Seolah-olah, nilai menjadi tujuan utama dalam dunia pendidikan. Sementara, sisi lain, di luar nilai yang tercantum di atas kertas dapat dibilang tersingkirkan.
Padahal kalau kita mau melihat kisah Susi Pudjiastuti di atas justru membuat kita harus membuka mata lebih lebar lagi. Entah apakah ini juga termasuk langkah Jokowi mengenai ide revolusi mentalnya atau hanya berupa ketidaksengajaan. Akan tetapi, terpilihnya Susi sudah menunjukkan lahirnya dunia pendidikan baru di Indonesia.
Keberadaan nilai yang berupa angka-angka di atas kertas sudah bukan hal yang sakral lagi. Memburu angka nilai akan sangat tidak bermakna tanpa ada skill dan jaringan yang bisa ditawarkan. Hal itu sudah dibuktikan oleh Susi. Untuk menduduki sebuah jabatan petinggi negara tidak perlu lagi membawa ijazah, hanya dengan menawarkan dua komponen itu sudah cukup.
Dengan begitu, lembaga pendidikan hari ini terasa kurang afdhal tanpa memberikan atau mendidik peserta didiknya untuk mengembangkan skill dan networking. Kalau lembaga pendidikan masih lebih senang mensakralkan nilai di atas kertas tanpa memperhatikan dua komponen itu maka sama dengan membunuh masa depan generasi bangsa.
Keberadaan lembaga pendidikan sudah bukan waktunya lagi menjadi produsen ijazah, melainkan yang terpenting bagaimana agar lembaga pendidikan dapat menjadi sarana bagi peserta didik untuk mengembangkan skill-nya dan juga menyediakan jaringan yang bermanfaat bagi masa depan peserta didik.
Dari sanalah sebenarnya lembaga pendidikan akan menemukan hakikatnya. Apalagi dalam waktu sekejap mata, Indonesia harus mengikuti dunia liberalisasi atau AEC 2015. Jika pendidikan Indonesia masih terperangkap dalam kepuasan kepandaian dalam teori dan nilai tanpa memberikan pengalaman nyata dan melatihskill tentu Indonesia akan kick out (KO) lebih awal.
Oleh karena itu, saatnya pendidikan Indonesia tidak hanya menggunakan tolok-ukur nilai ijazah. Saatnya lembaga pendidikan juga harus lebih melihat skill yang dimiliki oleh setiap individu. Susi Pudjiastuti adalah contoh nyata bagaimana saat ini untuk menjadi pejabat negeri tidak lagi butuh ijazah sebagai tiket. Akan tetapi, bagaimana individu tersebut dapat mengeksplorasi skill dan jaringannya dengan baik. Semoga semakin maju!

Surabaya, 2 November 2014

Pendidikan Indonesia : Refleksi Puisi WS. Rendra



Pendidikan Indonesia: Refleksi Puisi WS. Rendra
Oleh : Syaiful Rahman
Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri  Surabaya
 
Jumlah sarjana setiap tahun selalu mengalami peningkatan. Hal ini menjadi kabar baik bagi bangsa Indonesia. Sebab, itu berarti angka buta huruf dan buta pendidikan terus mengalami penurunan. Demikian juga dengan tingkat pengangguran, dengan meningkatnya jumlah masyarakat yang memiliki pendidikan, seharusnya dapat menekan pengangguran.
Namun, kenyataan berbicara lain. Bila dilihat data dari Badan Pusat Statistik pada Agustus 2014, penduduk yang bekerja masih didominasi oleh penduduk yang berpendidikan SD ke bawah, yakni sebesar 47,07 persen. Sementara penduduk yang berpendidikan sarjana ke atas hanya sebesar 7,21 persen. Sehingga tak heran bila data pengangguran dalam bulan yang sama, Agustus 2014, masih cukup tragis, yakni 7,24 juta orang.
Senin, 30 Maret 2015 lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan Nasional 2015 di Balai Diklat Dikbud Depok, Jawa Barat, mengungkapkan akan pentingnya menambah jumlah sekolah menengah kejuruan (SMK). Tak lain dan tak bukan, tujuan dari penambahan SMK tersebut dimaksudkan untuk menekan jumlah penggangguran.
Benarkah penambahan jumlah SMK akan dapat menekan pengangguran? Pertanyaan ini belum dapat dijawab sebelum ada bukti nyata di lapangan. Sebab, dapat dipahami bersama bahwa ada sisi lain yang juga memengaruhi arah pengangguran. Pendidikan yang tinggi tidak selamanya melahirkan jumlah lapangan pekerjaan yang tinggi pula. Buktinya dari data BPS di atas ditunjukkan bahwa penduduk yang berpendidikan sarjana hanya 7,21 yang bekerja.
Senada dengan kondisi di atas, tampaknya puisi berjudul Sajak Seonggok Jagung karya almarhum WS. Rendra di bawah ini perlu direnungi.
Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:
“Di sini aku merasa asing dan sepi!”
Puisi di atas sebenarnya cukup jelas memberi penegasan terhadap dunia pendidikan Indonesia saat ini. Pendidikan yang jauh dari kenyataan hanya menjadikan generasi penerus bangsa ini terkungkung dalam teori. Tersandera dalam lipatan-lipatan buku. Pendidikan yang tidak friendly terhadap anak didik menjadikan mereka terasing dari lingkungan.
Dari puisi di atas kita juga dapat menangkap pesan terhadap bentuk pendidikan Indonesia yang (mungkin) lebih ideal. Pendidikan yang lebih mendekatkan peserta didik kepada dunia nyata daripada terpaku pada teori semata.
Untuk itu, penambahan jumlah SMK sebagaimana yang dimaksud JK mungkin cara yang cukup logis. Sebab, SMK merupakan sekolah yang lebih menitikberatkan pada praktik daripada teori. Akan tetapi, tak seharusnya kita mengambil cara yang demikian. Tentunya akan ada banyak hal yang juga harus dipertimbangkan lebih mendalam.
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan antara lain adalah jumlah dana yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Untuk mendirikan sekolah SMK tentunya tidak sedikit dana yang harus dikeluarkan. Baik persiapan administrasi maupun sarana prasarana tentu akan jauh lebih besar daripada mendirikan sekolah biasa.
Selanjutnya, pemerintah juga harus mempertimbangkan jumlah dan kualitas tenaga kependidikan yang akan digunakan. Ini juga bukan merupakan hal mudah dalam dunia pendidikan. Kebutuhan akan tenaga pendidik untuk mengisi SMK baru nanti pun akan berdampak terhadap pengeluaran yang cukup besar.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, sebaiknya pemerintah tidak perlu melakukan penambahan terhadap jumlah SMK. Alangkah lebih baik bila pemerintah fokus memperbaiki lembaga pendidikan yang sudah ada. Bagaimanapun, persoalan pendidikan selama ini sebenarnya bukan terletak dari jumlah lembaganya melainkan sistem, metode, dan kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah.
Berbagai konsep pendidikan yang hanya terpaku pada tingkat hafalan dan kemampuan menjawab soal-soal tertulis perlu diperbaiki. Perlu ada upaya pembelajaran yang mengarah pada tingkat pengaplikasian teori dan kemampuan menjawab persoalan-persoalan dalam dunia nyata. Mengubah konsep ini memang tidaklah mudah namun, akan lebih bijak daripada menambah jumlah lembaga pendidikan namun membiarkan lembaga-lembaga yang sudah ada tetap dalam lingkaran masalah.
Sebagaimana data dari Kemdikbud.go.id yang dikutip oleh Habe Arifin (Duta Masyarakat, 26 April 2015), dari pemetaan terhadap 40.000 sekolah pada tahun 2012, sebanyak 75 persen sekolah tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Kabar ini tentu sangat mengagetkan dunia pendidikan Indonesia.
Data di atas menambah kekuatan argumen bahwa alangkah lebih baik bila pemerintah mengutamakan perbaikan lembaga pendidikan yang belum mencapai standar tersebut. Sebab, lembaga-lembaga pendidikan yang tidak terstandar dengan baik ini hanya akan menambah jumlah masyarakat mengantongi ijazah namun tidak memberikan efek terhadap perbaikan bangsa.
Saatnya merenungi kembali sajak WS. Rendra sebelum baris di atas:
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.


Surabaya, 26 April 2015