Formalitas Pendidikan yang Tergadai!
Oleh : Syaiful Rahman
Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakltas Ekonomi Universitas Negeri Surabaya
Pergeseran
masa memang tidak dapat dihindari. Bahkan dunia pendidikan kita pun harus ikut
tergeser pula. Melihat berbagai kenyataan yang ada, kini lembaga pendidikan
justru dibawa ke arah yang kurang begitu jelas. Lembaga pendidikan serupa
pabrik-pabrik ijazah yang sudah tergadaikan. Nilai yang berupa angka-angka pada
lembaran ijazah sudah tampak tak memiliki siungnya lagi. Mengejar nilai sama
dengan mengejar bayang-bayang yang justru melahirkan kegelapan.
Entah
kenapa kali ini saya sangat suka membicarakan tentang menteri Kelautan Susi
Pudjiastuti. Barangkali karena saya masih percaya bahwa beliau merupakan
satu-satunya menteri yang cukup nyenterik dengan segala atributnya yang saat
ini dia sandang. Terutama latar belakangnya yang telah membuat sebagian orang,
khususnya saya, harus berpikir panjang tidak hanya mengenai kebijakan politik
melainkan juga kebijakan pendidikan.
Susi
Pudjiastuti merupakan menteri yang tidak memiliki latar belakang pendidikan
yang menakjubkan. Justru dia memilih tidak melanjutkan sekolah setelah kelas 2
SMA. Dia memilih untuk berjuang menyambung hidupnya dengan cara berwirausaha.
Suatu kenyataan telah terjadi, dia bisa sukses dengan usahanya itu. Saya tidak
mengatakan bahwa itu merupakan sebuah keberuntungan. Sebab, bagaimanapun di sana
ada unsur usaha yang keras, pantang menyerah, dan skillyang
dimilikinya.
Masih
tentang Susi Pudjiastuti, dia pun semakin mulus perjalanan hidupnya setelah
menikah dengan seorang laki-laki yang juga cukup sukses. Artinya, setelah
pernikahannya itu, jaringan atau networking untuk
mengembangkan usahanya semakin luas. Dan kini Susi pun menggapai kesuksesan
yang luar biasa bahkan dapat duduk di kursi parlemen.
Kalau
dilihat, kisah Susi itu tidak menunjukkan nilai yang ada di lembaran ijazah
sama sekali. Dia hanya bermodalkan skill dan jaringan sehingga
mengantarkannya menuju kesuksesan. Dua komponen itu menjadi komponen utama
kesuksesan Susi.
Karena
itulah, saya mulai berpikir tentang nasib lembaga pendidikan. Khususnya bagi
para pelajar yang hingga kini masih didoktrin untuk memiliki nilai yang tinggi.
Hampir setiap orang tua pelajar akan sangat senang jika anaknya memiliki nilai
yang tinggi. Berbagai cara pun dilakukan agar anaknya mendapatkan peringkat
yang tinggi. Bahkan, orang tua rela mengurung anaknya demi angka di lembaran
ijazah. Mereka tidak peduli dengan kehidupan sosial masa depan sang anak.
Doktrinasi
itu tidak hanya terjadi di kalangan orang awam. Orang tua yang memiliki
pendidikan tinggi pun seringkali memaksakan kehendaknya demi mencapai nilai yang
tinggi. Akibatnya, banyak orang yang mulai membangun kursus-kursus privat yang
menjanjikan prestasi bagi peserta didik. Seolah-olah, nilai menjadi tujuan
utama dalam dunia pendidikan. Sementara, sisi lain, di luar nilai yang
tercantum di atas kertas dapat dibilang tersingkirkan.
Padahal
kalau kita mau melihat kisah Susi Pudjiastuti di atas justru membuat kita harus
membuka mata lebih lebar lagi. Entah apakah ini juga termasuk langkah Jokowi
mengenai ide revolusi mentalnya atau hanya berupa ketidaksengajaan. Akan
tetapi, terpilihnya Susi sudah menunjukkan lahirnya dunia pendidikan baru di
Indonesia.
Keberadaan
nilai yang berupa angka-angka di atas kertas sudah bukan hal yang sakral lagi.
Memburu angka nilai akan sangat tidak bermakna tanpa ada skill dan
jaringan yang bisa ditawarkan. Hal itu sudah dibuktikan oleh Susi. Untuk
menduduki sebuah jabatan petinggi negara tidak perlu lagi membawa ijazah, hanya
dengan menawarkan dua komponen itu sudah cukup.
Dengan
begitu, lembaga pendidikan hari ini terasa kurang afdhal tanpa
memberikan atau mendidik peserta didiknya untuk mengembangkan skill dan networking. Kalau
lembaga pendidikan masih lebih senang mensakralkan nilai di atas kertas tanpa
memperhatikan dua komponen itu maka sama dengan membunuh masa depan generasi
bangsa.
Keberadaan
lembaga pendidikan sudah bukan waktunya lagi menjadi produsen ijazah, melainkan
yang terpenting bagaimana agar lembaga pendidikan dapat menjadi sarana bagi
peserta didik untuk mengembangkan skill-nya dan juga menyediakan
jaringan yang bermanfaat bagi masa depan peserta didik.
Dari
sanalah sebenarnya lembaga pendidikan akan menemukan hakikatnya. Apalagi dalam
waktu sekejap mata, Indonesia harus mengikuti dunia liberalisasi atau AEC 2015.
Jika pendidikan Indonesia masih terperangkap dalam kepuasan kepandaian dalam
teori dan nilai tanpa memberikan pengalaman nyata dan melatihskill tentu
Indonesia akan kick out (KO) lebih awal.
Oleh karena
itu, saatnya pendidikan Indonesia tidak hanya menggunakan tolok-ukur nilai
ijazah. Saatnya lembaga pendidikan juga harus lebih melihat skill yang
dimiliki oleh setiap individu. Susi Pudjiastuti adalah contoh nyata bagaimana
saat ini untuk menjadi pejabat negeri tidak lagi butuh ijazah sebagai tiket.
Akan tetapi, bagaimana individu tersebut dapat mengeksplorasi skill dan
jaringannya dengan baik. Semoga semakin maju!
Surabaya,
2 November 2014
Kenyataan akan karut marutnya pendidikan di negeri ini bukan rahasia lagi dan gambaran diatas telah membuka mata kita sebagai pemuda bangsa yang akan menjadi penerus bangsa ini dan semoga pemerintah dapat memperbaiki kebobrokan dalam dunia pendidikan bukan dengan berlomba-lomba untuk mengesahkan kurikulum baru akan tetapi bagaimana caranya agar skill yang terdapat dalam diri siswa/individu dapat terasah dan tercover oleh pemerintah sesuai dengan amanat UUD
BalasHapus