Pendidikan Kurikulum atau
Pendidikan Sumber Daya Manusia
Oleh
: Febrika Yogie Hermanto
Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas EKonomi Universitas
Negeri Surabaya
Dua Mei adalah peringatan hari pendidikan nasional di
Indonesia. Seluruh kaum terpelajar memperingatinya dengan berbagai macam cara
dan harapan masing-masing tentang pendidikan. Di jalan raya, sekolah, kampus
maupun di depan gedung-gedung pemerintahan selalu ramai dengan cara-cara yang
dilakukan kaum terpelajar di Indonesia.
Banyak harapan yang diinginkan oleh masyarakat tentang
kemajuan pendidikan di Indonesia ini. Mulai dari infrastruktur sekolah, standar
isi pendidikan, standar proses dan banyak lagi yang lainnya. Akan tetapi yang sangat
melekat kental menjadi buah bibir masyarakat Indonesia selalu tentang kurikulum
pendidikan yang selalu berganti di setiap periode pergantian pemerintahan.
Sehingga muncul istilah “ganti menteri pasti ganti kurikulum” di masyarakat.
Fakta tersebut hanya membuat pendidikan di Indonesia
terlihat kerdil dibanding dengan negara-negara lain. Bagaimana tidak jika di
tiap tahunnya kita hanya di sibukkan dengan kurikulum dan pelatihan-pelatihan
untuk mempersiapkan hal tersebut. Setelah siap dilaksanakan ternyata kurikulum
yang sudah dipersiapkan sejak awal digantikan lagi dengan yang terbaru.
Alsannya karena kurikulum yang dilaksanakan tidak relevan dilakukan atau belum
ada kesiapan dari pihak sekolah-sekolah yang akan melakukannya.
Jika berkaca dari negara tetangga seperti Malaysia,
Singapura, Thailand, dsb Indonesia masih kalah maju dalam bidang pendidikan. Apa
yang membuat hal ini terjadi? Dilihat dari berbagai macam aspek ternyata kita
temukan fakta yang menarik. Masing-masing sekolah dan perguruan tinggi yang
mencetak tenaga-tenaga pendidik malah berfokus kepada pembuatan kurikulum.
Secara keilmuan yang sesuai dengan program studinya malah kurang diperhatikan.
Contohnya mahasiswa dalam pembelajarannya selama empat tahun kemampuan yang
harus bisa ia lakukan adalah membuat rencana pembelajaran yang disesuaikan
dengan kurikulum. Dalam program praktek lapangan pun mahasiswa yang sedang
melakukan pengajaran yang menjadi awal tugasnya adalah tentang membuat rencana
pembelajaran, lebih-lebih diharuskan membuat selama satu tahun. Lantas kapan
kita akan memperdalam tentang keilmuan masing-masing program studi yang akan di
aplikasikan kelak?
Memang lucu negeri ini dengan berbagai keunikannya.
Apabila berbicara tentang pendidikan maka yang benar output yang akan dihasilkan sumber daya manusia ataukah kurikulum?
Jika dilihat dari fakta saat ini sepertinya semua aspek pendidikan lebih
menekankan pada pendidikan kurikulum. Bagaimana tidak, setiap pengajar di
Indonesia pasti hal pertama yang dipikirkan dalam pendidikan adalah pembuatan
rencana pembelajaran (kurikulum), karena sejak mulai dini sudah dikenalkan oleh
hal tersebut.
Apabila dilihat dari sektor rill peluang pendidikan ini
merupakan sisi yang paling sentral dalam kemajuan bangsa ini. Produk utama yang
harus dihasilkan oleh pendidikan adalah sumber daya manusia yang berkualitas,
bukan sebatas membuat kurikulum saja. Jika dianalogikan kurikulum ini adalah
media guru untuk membuat rencana ke depan dalam memberikan ilmu yang dimiliki.
Jika sejak mulai diajarkan dalam dunia kampus pendidikan saat ini maka ilmu
yang akan diberikan pun tidak akan maksimal, karena ilmu yang dimiliki oleh
sang guru pun juga kurang matang. Akhirnya yang dapat dilakukan oleh guru tidak
akan maksimal sehingga tujuan dari pendidikan pun tidak tersampaikan dengan
baik.
Ada satu hal lagi tentang kebijakan profesionalisme guru.
Program profesionalisme guru merupakan suatu hal yang positif seharusnya. Dalam
pelaksanaannya hal ini ditujukan untuk membentuk guru/tenaga pendidik menjadi
profesional di bidangnya. Jika dilihat dalam pelaksanaannya di Unesa Program
Profesi Guru saat ini dilakukan satu tahun, dimana menurut kurikulum PPG terdiri
dari dua semester. Semester pertama membahas tentang pembuatan rancangan
pembelajaran dan semester selanjutnya adalah praktik di sekolah masing-masing.
Bayangkan saja dalam program profesi guru pun banyak waktu yang diperlukan lagi
dalam pembahasan tentang membuat rancangan pembelajaran. Jadi bisa dikatakan
bahwa pendidikan di Indonesia ini terlalu berfokus pada kurikulum bukan
menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Mengutip yang disampaikan bu Dhiah Ftirayati S.Pd., M.E
dosen FE Unesa “jika program PPG ini dilaksanakan dengan peraturan yang
dicanangkan oleh pemerintah saat ini haruslah ada kebijakan lain yang memperkuat
untuk lulusan perguruan tinggi keguruan dimana lahan keahliannya akan diambil
oleh orang-orang murni. Bukankah program profesionalisme lulusan murni pun juga
tidak dapat diakses oleh orang-orang lulusan kependidikan. Karena keahlian yang
dimiliki oleh lulusan strata satu program kependidikan akan dinilai sama dengan
yang murni ketika telah sama-sama mengikuti program PPG ini.” Sebenarnya
program profesi guru ini sangat positif jika di khususkan oleh guru untuk
meningkatkan kualitasnya sebagai tenaga pendidik. Jadi setiap instansi yang
melakukan kegiatan program belajar mengajar mulai dari tingkat dasar hingga
tinggi haruslah memiliki sertifikasi tenaga pendidik yang profesional sehingga
tenaga pendidik di Indonesia ini benar-benar ahli dan dapat menghasilkan sumber
daya manusia yang berkualitas di bidangnya.
Berkaca dalam kebijakan serupa dalam profesi lain seperti
dokter, apoteker, dsb yang dapat mengisinya adalah lulusan yang linier dengan
programnya. Tidak bisa selain lulusan dokter bisa mengambil program profesi
dokter dan begitu juga dalam profesi apoteker yang bukan lulusan dari farmasi
juga tidak bisa mengambil program profesi apoteker. Jika tujuan utama
pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme tenaga pendidikan di Indonesia
maka haruslah ada spesifikasi khusus setiap profesi yang akan diambil sesuai
dengan keahliannya yang linier di setiap program profesinya. Sehingga lulusan
yang dihasilkan perguruan-perguruan tinggi kependidikan dapat berkonsentrasi
penuh dalam meningkatkan pendidikan di Indonesia untuk menghasilkan sumber daya
manusia yang berkualitas.
Program pendidikan yang berfokus pada kurikulum dan
sedikit mengesampingkan tujuan utamanya yakni untuk membentuk sumber daya
manusia yang berkualitas sudah sejak lama ditinggalkan setiap instansi
kependidikan di Indonesia. Akan tetapi setiap kalangan yang bergelut dalam
bidang pendidikan tersebut tidak sadar melakukannya. Hal ini ditunjang juga
karena kementrian pendidikan dan kebudayaan selalu terjadi polemik dalam setiap
kebijakan kurikulum yang sering berganti di setiap kali ganti pengambil
kebijakan disana.
Berpikir tentang bagaimana cara membentuk sumber daya
manusia yang berkualitas dengan merangkumnya melalui kurikulum yang terjadi
saat ini sangat menghabiskan waktu sehingga konteks pendidikan yang harus dilakukan
malah ditinggalkan. Padahal jika berbicara tentang pendidikan maka kita
berbicara tentang ilmu yang akan diberikan kepada peserta didik. Seharusnya
yang dilakukan oleh pemerintah adalah merumuskan kebutuhan pendidikan di
Indonesia ke depan dalam jangka panjang sehingga persiapan dan yang akan
dijalankan sangat relevan dalam tujuan bangsa ini. Dalam merumuskannya pun harusnya
mengikut sertakan para pakar-pakar pendidikan dan guru-guru besar yang dimiliki
oleh Indonesia dari sabang sampai Merauke, sehingga semua permasalahan yang ada
dapat terwakili dengan solusi yang bersifat berjangka. Jadi, apabila
disesuaikan dengan kebutuhan jangka pendek maupun jangka menengah yang sudah
tidak relevan lagi dengan pendidikan di Indonesia tidak sampai mengganti
kurikulum. Oleh karena itu pemerintah janganlah terlalu lama ribut-ribut
tentang kurikulum yang tepat dilakukan untuk Indonesia sehingga pada kalangan
guru dan dosen masih banyak waktu untuk memperdalam ilmu yang akan diberikan
kepada anak didiknya.